whose side are you on

whose side are you on

Wednesday, March 16, 2011

MAYDAY…..MAYDAY..…MAYDAY…..SAVE OUR NATION

Tak Ada Asap Kalau Tak Ada Api.

Sekali Lancung Ke Ujian, Seumur Hidup Orang Tak Akan Percaya.

Melihat kehebohan perseteruan badan penegakan hukum di Indonesia akhir-akhir ini, gua teringat kedua pepatah Melayu diatas. Pepatah pertama, “tak ada asap kalau tak ada api”, menegaskan hukum kausalitas. Hukum sebab akibat. Sementara pepatah kedua, “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang takkan percaya”, menerangkan hukum integritas. Hukum amanah dan penghianatan.

Menonton “panggung drama” perseteruan itu, otak gua terasa buntu. Tak ada satu teori pun yang bisa menggambarkan secara metodologis alur cerita dan hiruk-pikuk masalah “penghianatan amanah jabatan, berbangsa dan bernegara” yang dilakonkan para super star dan dewa hukum tersebut. Tak ada satu buku pun yang dapat menjelaskan secara logis dan rasionil kenapa hal seperti itu bisa terjadi. Logika gua serasa tak jalan mendengar penjelasan masing-masing pemeran “drama terbesar” pelecehan hukum di Indonesia itu.

Bagaimana rasio anda menjelaskan jawaban yg diberikan KAPOLRI, Anggodo tidak dapat ditahan karena belum cukup bukti, sementara Bibit dan Chandra ditahan dengan bukti yang sangat amburadul. Dimana letak rasionya? Ada buku yang bisa menjelaskan itu dengan rasionil? Kalau ada saya ingin beli bukunya.

Bagaimana rasio anda dapat menerangkan, seorang Anggodo yang bukan “siapa-siapa”, yang hartanya mungkin “belum seberapa” jika dibandingkan dengan “hartawan-hartawan” kakap negeri ini, bisa mengatur para pejabat kakap negeri ini.Kalau ada bukunya, saya juga ingin beli.

Satu hal yang bisa saya logiskan dengan situasi Anggodo ini adalah, “hilangnya” ayat tembakau dari RUU Kesehatan yang digodog di DPR ketika sampai ke Sek-Neg. Ketua team perumus RUU ini di DPR, dengan enteng bilang itu hanya kealpaan, bukan disengaja. Tapi mengingat “hartawan-hartawan” kakap negeri ini semua berasal dari Industri rokok, sekarang saya bisa mengerti dengan logis kenapa itu bisa terjadi. Seorang Anggodo saja, yang “Cuma” seorang “hartawan kelas ikan tongkol” bukan kakap, sudah bisa mengatur para dewa hukum Indonesia. Apalagi orang2 super hartawan kita kan? Itu logika yang gampang. Dan sekarang kasus penghilangan ayat tembakau ini, hilang juga tak tentu rimbanya.

Kembali ke kasus perseteruan POLRI dan KPK, seperti permainan “I said he said”, semua bercerita dengan versi masing-masing. Semua menjadi orang paling bersih tanpa dosa. Bersumpah atas nama Tuhan. Membawa Alqur’an pula. Sementara plot cerita penuh bolong-bolong. Scenario bantahan yg baru berubah setiap saat. Strategy pembelaan, dirumuskan berdasarkan “He Said”. Setiap hari muncul versi baru. “I said” dibantah oleh “He said”. Siapa yang bohong, dan siapa yang korban, menjadi seperti teka-teki tanpa ujung.

POLISI & KEJAKSAAN

Tak ada asap kalau tak ada api, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak kan percaya.

Anda pernah berurusan dengan Polisi? Dari hal yang paling kecil, mengurus SIM, STNK, atau yang melibatkan hal-hal besar semacam kasus korupsi dan pembunuhan? Apa pikiran anda tentang POLRI? Anda pernah kena tilang? Bagaimana anda menyelesaikan kasus-kasus “kecil” berurusan dengan polisi itu? Well…. Apa citra anda terhadap POLRI.

Dari skala 1 sampai 10, dimana 1 sangat tidak dapat dipercaya, tidak memiliki integritas sama sekali, dan 10 sangat dapat dipercaya dan sangat memiliki integritas, dimana anda akan meletakkan posisi POLRI? 5 atau 6 atau 7? Atau malah 2 atau 1? Dan saya yakin, bila diadakan jajak pendapat, POLRI tidak akan mungkin mencapai angka 6 dalam segi integritas. Mendapat angka 5 saja sudah sangat bagus.

Kenapa sampai begitu? Tak ada asap kalau tak ada api, sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak kan percaya.

Bagaimana pula dengan kejaksaan?

Kasus Prita versus Rumah sakit OMNI? Kasus pelarian dan buron para koruptor kelas kakap? Kasus ping pong berita acara penuntutan hukum? Sampai saking lamanya diurus di ping pong kesana kemari, sang terdakwa tiba-tiba lenyap entah kemana.

Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak kan percaya. Apalagi lancung ke ujiannya bukan Cuma sekali. Tapi berkali-kali. Bahkan beribu kali. Sudahlah, hancur remuk redam integritasnya.

KPK

Dalam satu perusahaan/korporasi komersial, business proses menjadi satu hal yang sangat menjadi perhatian. Semakin effisien business proses-business proses yang diciptakan dalam perusahaan bersangkutan, akan semakin baik system kinerjanya, dan akan semakin baik pula daya saingnya. Business proses ini akan selalu ditest dan diuji, disesuaikan dengan jaman. Perubahan harus selalu dilakukan agar effisiensi selalu dapat ditingkatkan atau dipertahankan, sehingga daya saing dapat selalu dipertahankan. Tak ada 1 perusahaan pun yang dapat berkembang meraksasa, tanpa didukung business prosess dan system yang piawai. Buka saja buku tentang Bill Gates dan Microsoft, Toyoda dan Toyota, Morita dan Sony. Semuanya akan menerangkan hal yang sama.

Dalam korporasi dikenal istilah “interim solution”, pemecahan sementara. Atau “cases escalation”, pemecahan kasus per kasus.

Bila ingin tetap mempertahankan daya saing, internal business proses korporasi bersangkutan, harus selalu direview dan ditest. Sebab solusi yang tepat untuk hari ini, belum tentu akan menjadi solusi yang tepat juga 10 tahun kemudian.

Bila ditemukan ada satu business process yang tidak laik, atau menjadi bottle neck, yang menjadikan seluruh system tidak efisien, maka business proses ini harus dirubah. Harus dicarikan solusi yang baru. Kalau solusi yg baru sudah ditemukan, business proses yg baru ini harus ditest dulu. Caranya dengan melakukan piloting. Piloting sukses, solusi baru ini akan diroll out. Dan akan ada dua proses yang akan berjalan secara simultan. Proses lama dan proses baru yg sedang uji coba. Dan selama dua business proses ini berjalan, dia akan menjadi “interim solution”. Sebelum seluruh business proses dimigrasi ke proses baru, interim solution ini akan tetap dipakai. Kalau seluruh business proses lama sudah berhasi dimigrasi ke proses baru, maka business proses lama akan dimatikan. Dan system akan berjalan didalam business proses yg baru. Yang lebih efisien dan efektif. Dan interim solution ini pun akan hilang. Interim solution ini ada masanya, sebuah system tidak dapat berjalan terus menerus dengan mengandalkan interim solution, system parallel. Sebab itu akan menjadi sangat tidak efision buat sebuah korporasi. Hal ini terutama dilakukan untuk critical business process. Proses-proses yang sangat penting dan menentukan.

Sebuah system, betapa pun bagusnya, tidak akan dapat menjawab semua masalah, karena itu dibutuhkan “case escalation”. Untuk kasus-kasus tertentu, penyelesaiannya dilakukan “di luar system”. Namun bila sangat banyak kasus berulang, dengan kejadian yang sama, artinya business process bersangkutan sudah tidak memadai lagi. Harus dicarikan solusi baru. Dan proses perubahan akan berulang kembali.

Negara adalah satu super korporasi, yang dapat diibaratkan sebagai satu super perusahaan, yang juga memiliki system dan business proses raksasa. Salah satu business proses dalam korporasi bernama Negara itu adalah business proses penyelesaian “legal dispute”, perselisihan hukum. Dan disitulah badan Negara semacam Polisi, Jaksa, Hakim, dan pengacara mengambil peran sebagai bagian dari suatu system Negara.

Dalam hal “legal dispute” ini, khusus untuk masalah korupsi, Negara membentuk KPK. Dalam hal Negara sebagai super korporasi, KPK adalah interim solution atau case escalation. Jadi KPK adalah jalan pemecahan sementara. Kenapa KPK dibentuk? Semua sudah tau jawabannya. Citra dan integritas Polisi, Kejaksaan, dan Kehakiman sudah hancur-hancuran. Jatuh terpuruk ke titik nadir. Masyarakat sudah tak percaya lagi akan efektifitas badan-badan hukum Negara ini untuk menjawab dan menyelesaikan masalah korupsi. Sementara korupsi di Negara ini sudah menggurita dan menjadi persoalan yang sangat menghambat daya saing Indonesia sebagai super korporasi. Sudah mewabah menjadi penyakit kronis Indonesia yg sangat mengkhawatirkan, dan harus segera disembuhkan.

Diharapkan KPK menjadiinterim solution/case escalation yang akan menyelesaikan masalah-masalah korupsi dengan lebih baik. Dan KPK menunjukkan hal itu. Menjadi interim solution yang cukup effektif. Sejelek apa pun KPK, masih SANGAT JAUH LEBIH BAIK dibandingkan POLRI, Kejaksaan, dan Kehakiman.

Sebagai seorang pengusaha, yang mau tak mau juga memiliki beberapa hubungan business dengan pemerintah, saya tau benar hal itu. Setelah adanya KPK, tender-tender di pemerintahan memang menjadi jauh lebih “transparan”. Oknum-oknum pengatur tender pemerintahan menjadi lebih hati-hati dan takut-takut untuk berbuat “gila”. Semua karena KPK. Dan hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya, sebelum KPK dibentuk dan menunjukkan taringnya.

Karena merupakan interim solution dan case escalation, seharusnya lah KPK memiliki masa kerja efektif. Dengan kata lain, business proses baru harus dijalankan. Siapa yang menjalankan, ya system itu, Polisi, Jaksa, Kehakiman, dan Pengacara. Tapi masalahnya sekarang adalah, sudahkah “system legal dispute” Indonesia itu berbenah diri?

Ini bukannya berbenah diri dengan business proses dan kinerja baru, malahan ingin mempertahankan system dan business proses lama yang sudah jelas-jelas membunuh pelan-pelan super korporasi bernama Indonesia. Dan dengan terang-terangan ingin “membunuh” interim solution yang ada, agar system jelek dan amburadul itu bisa terus berjalan dan bertahan. Betapa gilanya.

Ada seorang pengacara kondang, yang ketika diwawancarai di TV mengenai kasus seorang multi jutawan Indonesia yg dituduh menyuap para pejabat kehakiman, jauh sebelum kejadian perseteruan POLRI dan KPK ini terjadi, dan kebenaran pengacara kondang ini adalah pengacara multi jutawan ini. Pengacara ini berkata dengan angkuh dan pongahnya, kita tidak bisa melakukan peradilan jalanan, semua harus dilakukan by system. Kalau ada yang meragukan citra hakim dan kejaksan, silahkan buktikan, jangan hanya berdasarkan kabar burung dan issue-issue tak jelas.

Kejadian KPK dan POLRI ini menjawab kepongahan pengacara tersebut.

Banyak tokoh-tokoh Negara ini yang juga menganjurkan agar segala permasalahan hukum diselesaikan melalui system. Termasuk perselisihan KPK dan POLRI ini. Saya setuju sekali dengan usulan tersebut, tapi dengan catatan, business proses dan system yang dimaksudkan sudah teruji dan terbukti effisiensi dan effektifitasnya. Kalau kita terus-terusan mengandalkan jargon-jargon kosong “Back to the system” tanpa membenahi business proses yang ada, percayalah, Indonesia hanya akan menunggu waktu matinya.

TEAM 8

Dengar pendapat Komisi III DPR dan POLRI. Beberapa anggota DPR terang-terangan mempertanyakan jurisdiksi dan kekuatan hokum Team 8 (Team independen pencari fakta bentukan Presiden) ini. Mereka terang-terangan menganjurkan agar POLRI tidak menuruti rekomendasi team bentukan Presiden ini, karena tidak jelas jurisdiksinya.

Hello….. Bapak dewan yang terhormat. Kriiiinngg….. dimana hati nurani anda?

Sudah jelas kasus ini membutuhkan campur tangan Presiden. Itu sudah jelas. Karena kasus ini melibatkan badan-badan Negara yang berada dibawah Presiden. Kalau dibiarkan berlarut-larut, hal ini akan mencoreng wibawa pemerintah dan akan merusak nama Indonesia sebagai super korporasi.

Tapi bapak dewan yang terhormat, tidak mungkin kan Presiden langsung yang menyambangi Kapolri, menanyai Susno Duadji, menemui Anggodo, menyalami Ary Muladi…. Tidak mungkin kan? Pekerjaan Presiden bukan itu saja. Harus ada yg mewakili Presiden melakukan itu. Anda mau bilang “back to system”? System yg bagaimana? Mau meminta hal itu (pencarian fakta dan kebenaran itu) dilakukan kehakiman? Sudah sebaik apa citra kehakiman dibandingkan POLRI dan Kejaksaan?

Boleh jadi secara de Jure Team 8 itu memang tidak dapat mewakili hak yang dimiliki oleh Presiden, tapi secara de facto, Team 8 itu adalah perpanjangan tangan Presiden, perwakilan Presiden dalam kasus ini. Team 8 ini adalah interim solution, case escalation dari keberadaan Presiden untuk kasus ini. Jadi kalau ada bapak dewan yang terhormat menghasut Kapolri untuk tidak menganggap team bentukan Presiden ini, itu sama saja artinya hati nurani para dewan yang terhormat itu sudah gelap. GELAP!!! Atau memang otaknya yang sudah agak-agak kacau, sehingga logikanya tdk jalan lagi.

Om SBY sudah mempertaruhkan kredibilitasnya pada team ini. Keberhasilan team ini adalah keberhasilan Presiden. Kegagalan team ini berarti kegagalan Presiden juga. Dan artinya, kegagalan Indonesia juga mempertahankan pemberantasan korupsi.

Apa pun caranya, bila itu untuk hal yang lebih baik bagi bangsa ini, harus didukung.

Bibit dan Chandra belum tentu tidak bersalah. Bisa jadi mereka bersalah. Tapi KPK harus tetap ada. Nasib bangsa ini ke depan sedang dipertaruhkan.

Bottle neck paling besar yang sudah menjadi ganjalan bangsa ini selama berpuluh tahun sudah disingkirkan. Bottle neck super raksasa itu bernama Soeharto. Tapi bottle neck-bottle neck yang lain masih menunggu. Busines proses yang baru, yg lebih effisien dan effektif harus diciptakan. Selama POLRI, Kejaksaan, dan Kehakiman belum berbenah diri, KPK sebagai interim solution masih tetap diperlukan.

Jaman sudah berubah. Masyarakat semakin pintar. Penyebaran informasi semakin cepat. Satu juta facebookers yang mendukung KPK (Saya harap bukan mendukung Bibit dan Chandra), sudah membuktikan itu. Polisi, Kejaksaan, dan Kehakiman, HARUS berubah. Kalau tetap ingin mempertahankan status quo, bersandar pada business proses lama yang amburadul dan tak jelas juntrungannya, jaman akan menghantamnya. Peradilan jalanan akan menghukumnya. Bottle neck sebesar Soeharto saja dapat digeser, konon pula bottle neck sekerdil Anggodo.

Bibit dan Chandra hanya symbol, boleh jadi mereka bersalah. Namun bukan berarti KPK harus dimusnahkan. Apapun ceritanya, DPR sudah diobok-obok oleh KPK, Kehakiman diobok-obok KPK, POLRI diobok-obok. tidak ada yg berani melakukan itu sebelumnya. Hanya KPK. Apapun kisahnya, secara kasat mata, apa yg sudah dilakukan KPK untuk negeri ini, dalam hal pemberantasan korupsi, masih lebih baik dibanding ke 3 badan Negara itu…… MARI KITA DUKUNG KPK, DAN SELAMATKAN BANGSA INI.

Dalam keadaan kritis dan darurat, mungkin buku tidak diperlukan lagi. Kita harus kirimkan sinyal bahaya itu. MAYDAY…MAYDAY….SAVE INDONESIA..!!!!!

No comments:

Post a Comment