whose side are you on

whose side are you on

Wednesday, March 16, 2011

Books of Leadership : I Have A Dream….

28 august 1963, dihadapan lebih dari 200,000 manusia yang berkumpul di Lincoln Memorial, Dr. Martin Luther King Jr., salah seorang Pemimpin kelompok perjuangan kulit hitam Amerika, menyampaikan “pidato politiknya” yang sangat terkenal itu, “I Have a Dream”. Hari itu merupakan puncak dari rangkaian acara Political Rally yg sudah diadakan di seluruh Amerika Serikat (AS), perjuangan yg tak kenal lelah untuk meminta persamaan hak antara warga Kulit putih dan kulit hitam di AS.
Hari itu dilakukan march dari Washington Monument ke Lincoln Memorial. Kamu-kamu yang sudah pernah ke Washington DC pasti mengetahui, area dimana Washington Monument terletak, merupakan daerah “The USA Power Center”. Monumen Washington terletak di tengah-tengah, diapit oleh Capitol Hill (Gedung Parlemen), di sebelah Timur, White House (Kediaman Resmi dan Kantor Kepresidenan) di Utara, Thomas Jefferson Memorial di Selatan, dan Lincoln Memorial di Barat. Jadi sudah jelas kenapa tempat ini dijadikan tempat acara puncak Political Rally tersebut. Sebab yang menjadi tujuan desakan itu adalah Parlemen yang dinilai terlalu lambat untuk mengundangkan aspirasimasyarakat Kulit Hitam, dan Presiden John F Kennedy (Presiden AS saat itu), yang juga dianggap masih ½ hati melakukan pembaharuan politik bagi nasib masyarakat kulit Hitam.
Lincoln memorial dipilih sebagai tempat tujuan akhir march dan political rally tersebut juga bukan tanpa sebab. Abraham Lincoln adalah salah satu Presiden Amerika yang terkenal sangat gigih memperjuangkan nasib para budak kulit hitam di masa pemerintahannya. Dimana kala itu perbudakan masih merupakan hal yang diakui Negara. Dan Lincoln pun dibunuh oleh lawan politiknya karena sikapnya yang sangat anti perbudakan itu.
Hari itu merupakan tonggak bersejarah bagi perjuangan warga Kulit Hitam Amerika untuk mencapai keadilan. Meskipun begitu banyak friksi diantara sesama pemimpin kelompok perjuangan, katakanlah contohnya ketidak sepahaman antara Martin Luther dengan Malcolm-X, dan beberapa pemimpin kulit hitam lainnya, namun hari itu, ketidak sepahaman itu mencair, melebur dalam satu aksi yang menghentakkan hati nurani seluruh anak bangsa. Dan pidato politik Martin Luther King yg terkenal dengan nama “I Have a Dream” itu, dianggap menjadi salah satu pidato politik paling bagus dalam sejarah Amerika. Menembus batas-batas bangsa, Negara, ras, agama. Orasi itu dianggap berkas yang syarat dengan nilai kemanusian, kebajikan, motivasi, dan harapan. Pidato yang memberikan inspirasi bagi siapa saja yang mendengarkannya, untuk tetap berjuang, bertahan dan menang. I Have a Dream……
Menjadi pemimpin itu bukan perkara mudah. Bukan hanya dibutuhkan karisma dan kecerdasan, tapi banyak hal yang dibutuhkan. Pemimpin itu harus memberikan inspirasi dan kekuatan. Orang yang dapat dipercaya, orang yang memberi dorongan. Tidak hanya sanggup membuat pidato bagus, namun sanggup juga melaksanakannya. Seperti apa yang dicontohkan Martin Luther King.
Hari Selasa kemaren adalah debat cawapres Indonesia. Teman saya sudah membahas debat capres sebelumnya. Dan hari ini gue ingin berkomentar tentang debat capres dan cawapres kita itu.
Berbicara mengenai demokrasi, mau tiak mau kita harus menjadikan AS sebagai acuan. Sebab bagaimana pun, demokrasi di AS masih dianggap sebagai demokrasi yang paling mature (dewasa). Dan acara debat capres/cawapres itu, sedikit banyak kita contoh dari Negara itu.
Benar bahwa secara sosio cultural, kita sangat jauh berbeda dari AS. Tapi apa pun alasannya, kita juga harus mengakui, kapasitas yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, adalah kapasitas yang universal. Kapasitas yang menembus ruang dan waktu, agama, budaya, ras, dan bangsa. Untuk menjadi pemimpin yang baik, dimanapun, baik di Indonesia maupun di Negara lain, dibutuhkan kapasitas yang sama.
Kalau anda seorang yang mendalami ilmu management, di kelas-kelas manapun di dunia, selalu diajarkan beberapa syarat untuk menjadi pemimpin yang baik. Dan syarat itu tetap berlaku sepanjang masa, dalam segala kondisi dan situasi.
Saya tidak ingin membahas sifat-sifat kepemimpinan itu. Silahkan saja baca buku-buku yang khusus ditulis mengenai leadership itu. Masing-masing pakar membuat berbagai teori. Ada yang mengatakan 7 kebiasaan dan sifat, ada yang mengatakan 5 sikap, ada yang mengatakan 12, ada yang mengatakan 8, terserah deh… Tapi kalau anda baca semuanya, dibolak balik, sifat-sifat seorang yang harus dimiliki untuk menjadi pemimpin yang baik, yaaa itu-itu juga…. Hanya bahasa dan cara perumusannya saja yang berbeda-beda. Saya tidak ingin membahas itu. Silahkan pelajari sendiri.
Ada orang-orang beruntung, yang sudah terlahir dan berbakat jadi pemimpin, dengan sifat-sifat kepemimpinan yang dimaksudkan. Namun semua akhli percaya, sifat dan sikap pemimpin yang baik itu, dapat diasah dan dilatih, artinya dapat dipelajari.
Kalau demikian, pendidikan memang menjadi penting. Sangat penting. Sebab hanya dari pendidikan saja kita dapat menelurkan pemimpin-pemimpin yang punya kapasitas. Bukan pemimpin yang itu-itu saja seperti sekarang ini yang kita alami. Karena terus terang pendidikan di Indonesia memang sedang perlu perubahan total dan drastic.
Salah satu persyaratan utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah Empathy. Hampir seluruh pakar menempatkan factor ini pada posisi teratas dari sifat-sifat yg harus dimiliki seorang pemimpin. Kemampuan untuk berempathy. Dan agama apa pun, juga menempatkan sifat ini sebagai sifat utama yg harus dimiliki orang-orang beriman. Listen before you talk. Think before you act. Seek before you find. Artinya, pahami dulu, dengarkan dulu sebelum kamu bertindak. Berempathy dulu baru utarakan keinginanmu.
Dan melihat debat para calon pemimpin kita kemarin, gue melihat banyak sekali empathy yang ditampilkan… sangat banyak. Terlalu banyak malah, gue kira... Bayangkan saja, saking terlalu bersemangat saling ber empathy, sampai debat nya pun jadi tak ada. Semua saling setuju pendapat masing-masing jagoan… ah-ha…. Hebat dong pemimpin-pemimpin kita itu…. Penu empathy.
Orang-orang bisnis dan politik, pasti sudah sering dengar istilah win-win solution dong…. Win-win solution itu harus diterapkan disetiap sendi kehidupan yang mungkin mengalami friksi. Dan win-win solution itu memang jelas didasari dari sifat utama seorang pemimpin tadi, sifat untuk selalu berempathy. Agama bilang, give before you ask. Dan orang bisnis bilang, deliver more than you promise. Empathy dooonngg…
Jadi kalau berdebat yang kemungkinannya untuk menimbulkan friksi akan sangat besar,formulasi win-win itu juga harus diterapkan dong, harus ber emphaty dong… iya enggak? Jadi jangan bantah, jangan serang…. Iya kan aja deee, beres… …. Kan ber emphaty itu sikap utama pemimpin yang baik… hikhikhik…..
Kenapa seorang pengacara yang baik itu dibayar sangat mahal? Kenapa seorang consultant management dibayar sangat mahal? Jawabnya gampang.
Pengacara dibayar sangat mahal karena mereka sangat handal berargumen. Berdebat dengan cerdas. Dan consultant management itu dibayar sangat mahal, karena mereka pintar menawarkan solusi yang tepat, memberikan prioritas dengan cerdas. Dan pemimpin pun dibayar mahal, karena dia diharapkan mampu berargumen. Berdebat dengan cerdas. Berdebat dengan empathy!!! Bukan berdebat dengan tukul…eehh salah…berdebat dengan tumpul.
Salah gue barangkali ya… melupakan satu hal, gue lupa bilang, kalau salah satu sifat dari pemimpin yang baik itu adalah, kemampuan bernegosiasi yang superb. Excellent negotiation skill. Jadi manager madya saja kamu sudah dituntut untuk mampu bernegosiasi dengan baik. Apalagi jadi Presiden Direktur kan? Sebagai pemimpin, percaya deh, setiap hari kerjaan kamu adalah bernegosiasi. Dengan karyawan, dengan rekan bisnis, bahkan dengan keluarga sekalipun. Negosiassiiii mulu…Setiap hari!
Negosiasi itu sebenarnya apa sih? Apa iya negosiasi itu artinya Cuma tawar-menawar? Seperti iklan mobil bekas yang ditawarkan di Koran-koran, harga bisa nego…. Begitu? Mobil ditawarkan 100 juta, anda tawar 90 juta. Diterima. Si penjual senang, kamu senang. Win-win solution. Beres. Begitu? Lantas seminggu kemudian, mobilnya rongsok masuk bengkel, kena ongkos 30 juta, kamu kemudian ngomel-ngomel. Si penjual bilang kamu yang bego, kamu bilang si penjual penipu. Win-win solution. Beres kan?
Negosiasi itu membutuhkan kemampuan berargumen yang handal. Kamu harus memiliki argument kenapa kamu memberikan penawaran sebegitu. Dan partner negosiasi kamu harus memberikan argument juga kenapa dia menawarkan lain dari yang kamu mau. Itu artinya debat.
Gue Tanya sekarang, kalau kamu jadi pemimpin Indonesia, dan kamu maju ke meja negosiasi menghadapi para pakar/akhli hukum kelautan international dan pakar kenegaraan dari Malaysia membahas soal Ambalat, menurut kamu apa “win-win solution” yang pantas ditelurkan dari meja perundingan? Jangan-jangan dengan cara debat/berargumen pemimpin kita yang ditunjukkan kemaren-kemaren itu, “win-win solution” nya adalah: Ambalat menjadi wilayah bebas, kedua Negara memiliki hak yang sama atas claim di Ambalat. Beremphaty dooonnngg…. Beres kan? Semua senang. Ngapain juga harus cape-cape perang buat pulau sekecil Ambalat? Iya kan?... hebbaattt….
Lupa lagi gue, uhh dasar umur…. Lupa mulu sih… Salah satu sifat penting lain yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah excellent decision making. Kemampuan melakukan keputusan yang baik dan berempathy. Benar bok… empathy itu gak boleh ketinggalan. Itu sifat utama.
Waktu gue masih kuliah bisnis dulu, dulu banget bok… gue masih lugu dan polos. Masih muda dan rada bego. Di salah satu kelas mengenai kepemimpinan, ada diskusi mengenai bedah kasus peperangan.
Kamu adalah seorangRaja dari satu negara. Dalam satu pertempuran terakhir yang sangat penting, pertempuran yang menentukan hidup matinya Negara kamu, terjadi bencana. Dalam pertempuran sebelumnya, pasukan kamu banyak mengalami kerugian. Sementara dalam pasukan terakhir ini, ada kamu sebagai Raja, ada 1 orang Jenderal yang memimpin semua pasukan, ada 3 panglima yang masing-masing memimpin satu divisi pasukan tempur, dan ada beribu-ribu pasukan serta penyokong pasukan termasuk 1 orang kurir dan 1 orang juru masak yang sangat pintar menyediakan masakan yang disukai seluruh pasukan, sebab itu menjadi kesayangan seluruh pasukan. Selain juru masak ini, tidak ada lagi orang yang bisa masak dalam pasukan kamu. Jadi keselamatannya sangat dijaga. Sebab tanpa masakan yang enak, kamu khawatir pasukan kamu akan menurun moralnya. Peperangan sudah mencapai titik akhir. Kalau pasukan kamu kalah, Negara kamu akan dikuasai musuh kamu, namun jika kamu menang, kamu akan berhasil mengusir dan menghempaskan musuh kamu.
Dalam pertempuran sebelumnya, ketiga orang panglima kamu terluka sangat parah. Kebenaran ke 3 orang ini memiliki golongan darah yang sama. Golongan darah O. Karena luka-lukanya harus segera dilakukan transfusi darah. Masing-masing membutuhkan paling sedikit 2 liter darah transfusi. Artinya dibutuhkan paling sedikit 6 liter darah golongan O. Supaya diketahui, gol darah O, hanya bisa menerima transfusi darah golongan O juga. Tidak golongan lain. Manusia diperkirkan paling banyak hanya mampu kehilangan separoh dari seluruh darahnya, apabila melebihi itu, kemungkinan untuk dapat diselamatkan akan sangat kecil. Juga diperkirakan, seorang manusia dewasa memiliki darah, sesuai dengan berat badannya. Namun secara rata-rata, tubuh manusia hanya memiliki 5 – 6 liter darah.
Setelah kamu periksa, dari seluruh pasukan kamu hanya 2 orang yang memiliki golongan darah O. yaitu sang Jenderal dan si juru masak kesayangan. Sebagai Raja, apa yang akan kamu lakukan?
Coba kamu apa yang akan kamu lakukan? Mau tau jawabnya? Jawabannya simple aja. Bunuh juru masak itu, dan bagikan darahnya untuk ke 3 orang panglima itu.
Waktu itu gue masih dogol dan naïf dong… terkaget-kaget mendengar jawabannya. Kok seram dan setega itu? Tapi setelah mendengarkan argument dari pengajar/professor nya gue pun teryakinkan. Dalam situasi genting begitu, dibutuhkan kemampuan fast decision making. Kemampuan untuk menentukan prioritas. Prioritizing. Situasi genting begitu, prioritasnya adalah menyelamatkan Negara dan seluruh pasukan. Pasukan membutuhkan pemimpin. Saat gawat, kehilangan pemimpin pasukan adalah bencana. Prioritas juru masak menjadi “kecil”. Keselamatan Negara yang utama.
Prioritazing. Membutuhkan kemampuan berargumen dengan empathy juga. Kamu harus tahu apa prioritas utama dan apa yang dapat dilakukan belakangan. Artinya kemampuan berargumen juga dengan logika dan empathy.
Menjadi pemimpin dibutuhkan kekuatan untuk mengambil sikap yang kadang-kadang “terkesan” tidak popular. Kadang-kadang sebagai pemimpin yang paling mengetahui kondisi dan situasi genting, kamu mengambil putusan tidak popular, dan kamu menjadi sendiri untuk menerima segala caci maki. Meskipun orang yang mencaci maki itu sebenarnya orang yang kamu selamatkan. Tapi karena ketidak tahuannya, dia menganggap kamu gila. Pemimpin harus siap menjadi seperti itu. Jangan Cuma bisa “ja-im” dan bermanis-manis berteriak “setttuuujjjuuuu” saat berdebat, karena menurutkan tata-krama.
Oom Rudi Habibie mengambil putusan sangat pahit, ketika melepaskan Timor Timur dari Indonesia. Kala itu gue pun ikut mencaci maki beliau. Gila yaaaa…. Oom Alatas lagi berjuang ½ modar di PBB untuk meredam suara-suara luar yang semakin mendesak Indonesia, seenaknya saja dia ambil keputusan melepas TimTim. Tapi kemudian bertahun berselang, setelah masa-masa pahit pasca kejatuhan Soeharto terlewati. Setelah tahu situasi DOM di Aceh. Setelah mendengar pergerakan bintang Kejora di Papua, perang agama di Ambon, gue angkat topi atas putusannya itu.
Menyelamatkan Seluruh Indonesia lebih penting dari mempertahankan TimTim. Energy, tenaga, pikiran kita sudah begitu banyak tersedot ke TimTim, tekanan dari luar/PBB, belum lagi dana yg harus disiapkan untuk mempertahankan TimTim, sementara ekonomi Negara diambang kehancuran. Persatuan bangsa dihantam issue separatisme. Rasanya keputusan pahit itu memang harus diambil.
Secara historis dan keterkaitan, rasanya Aceh, Papua, dan Ambon, masih jauh lebih penting dari TimTim. Kesatuan Indonesia prioritas utama. Bukan berarti Timtim kurang penting, tapi saatnya memang belum tepat. Gue yakin kok, lihat saja satu saat nanti, I have a dream, kalau Indonesia sudah benar-benar maju, Timtim akan dengan sukarela bergabung.
I have a dream….
Gue tiap hari membaca excerpts yang dikeluarkan oleh badan-badan ekonomi/financial dunia dan asing. Setiap hari laporan tentang Indonesia semakin positif saja. Mudah-mudahan itu bukan pepesan kosong, seperti jaman-jaman ekonomi pancasila era Soeharto. Setiap hari laporannya bagus mulu. Sementara ekonomi Indonesia kropos abesss, seperti rumah dimakan rayap. Diluar mentereng, di dalam keropos bangkrut. Mudah-mudahan dengan transparansi yang sudah “agak” baik sekarang, laporan-laporan badan keuangan Internasional itu adalah laporan yang jujur, bukan seperti menggantang asap.
I have a dream…. 50 tahun dari sekarang Indonesia akan menjadi Negara dengan ekonomi terbesar kedelapan. Bayangkan.
I have a dream…. 50 tahun dari sekarang, cucu-cucu gue tidak perlu lagi jauh-jauh sekolah ke negeri seberang seperti gue sekarang, jauh dari keluarga dan kerabat, hanya untuk mendapatkan ilmu. Kalau sekarang Indonesia Cuma punya UI, ITB, dan UGM yang masuk daftar 100 perguruan terbaik kelas dunia, sementara Singapore Negara sekecil itu juga punya 3 yg terbaik, 50 tahun lagi, 25% perguruan tinggi di daftar 100 itu adalah punya Indonesia…
I have a dream… 50 tahun dari sekarang, gue pengen liat apakah Malaysia dan Singapore masih berani mengacak-acak Indonesia, dan “mengajak adu panco” seperti sekarang. Gue pengen liat….
Mudah-mudahan kita tidak memilih pemimpin yang salah. Meskipun acara debat itu membuat gue agak putus asa….. gue ralat, kecewa dan sedikit putus asa….
I have a dream…. 50 thn dari sekarang cucu-cucu gue bisa bilang “Gue cinta Indonesia sampai kapan pun…..” dengan penuh rasa bangga….. I have a dream……

No comments:

Post a Comment