whose side are you on

whose side are you on

Wednesday, March 16, 2011

Books of Sibling Rivalry : The Pendet Dance Saga

Bwugwyny cwerwitwanywa.....
Seorang presenter membawakan satu acara di TV swasta. Mulut gue sampai monyong-monyong kalau ingin menirukan cara presenter tersebut mengucapkan kata-kata: "Begini ceritanya..." Padahal pengucapan kata-kata itu seharusnya sangat sederhana dalam bahasa Indonesia. Tapi dengan cara presenter tersebut mengucapkannya, lidah Indonesia harus dipatahkan dulu baru bisa mengucapkan kata-kata, "begini ceritanya", biar kedengaran dan kelihatan bagus di televisi. Kalau lidah Indonesia kamu tidak patah, jangan coba-coba bisa mengucapkan: "bwugwyny cwerwitwanywa", dengan baik dan benar di televisi. Karena mulut kamu pasi jadi monyong dan suara kamu jadi kedengaran seperti suara bayi baru belajar bicara. Jadi akan kelihatan dan kedengaran jelek sekali di televisi. This is one true story.
Another true story, kalau nama kamu Siti Nurhaliza, Ahmad Tarmizi, Amir Syamsudin, Ning Baizura, atau Syarifah Aini, jangan coba-coba melamar jadi artis di Indonesia. Karena nama kamu akan membawa bencana pada dunia gemerlap keartisan  Indonesia. Kamu harus segera ganti nama menjadi, Tamara Blezensky, Rianti Cartwright, Bertrand Antolin, Indra Brugman, caroline Zachry, atau Catherine Wilson. Baru laku di Indonesia. Sebab nama-nama yang berbau "Timur", "Melayu", dan "Indonesia" akan terdengar sangat "kampungan". Apalagi nama-nama yang berbau kedaerahan semacam "Warsinah", "Juminten", "Joko Priyono", "Asep Hidayat", atau "Ismail Hasan"...wahhh mana bisa masuk jajaran artis papan atas?? Paling bisa juga nama kamu diterima sebagai artis dangdut atau jadi sinden, penyanyi lagu2 kesenian daerah yang sudah kembang kempis mempertahankan eksistensi budayanya. Tinggal menunggu waktu untuk mati.
Di Indonesia sudah sangat jelas pembedaan itu secara berkesenian dan budaya. Segala yang berbau "Barat" dan "asing" akan diterima sebagai bagian yang paling baik. "Tidak kampungan". "Kedengaran Hebat" sementara yang berbau-bau "Timur" dan "Daerah" akan diterima sebagai second class. Kelas marginal terpinggirkan. Kalau nama kamu Lilis Karlina, Anissa Bahar, Wiwik Sumbogo, Euis Dahlia, maka tempat kamu adalah di musik Melayu. Musik dangdut, musik kalangan kelas bawah dan kaum kampung. Tidak ada tempat buat nama-nama seperti itu didunia hiburan pop, yang dikategorikan "buat kalangan lebih elite".
Lagi-lagi itu adalah "pencitraan" yang sudah berkembang sedemikian lama dimasyarakat. Entah sejak kapan dimulainya, namun "hegemoni kebudayaan asing" di Indonesia sudah berjalan sedemikian massive dan meraksasa. Dilakukan secara terstruktur,  sampai kita tidak sadar lagi melupakan segala yang berbau "daerah", karena merasa itu cuma buat urusan orang kampung. Entahlah itu kesalahan siapa. Dan pembagian kebudayaan dan berkesenian itu pun, sekarang, sudah terstruktur dan terbagi sedemikian rupa, tanpa kita sadari.
Cobalah pikir sejenak. Renungkan barang sejenak. Euis, Hasan, Siti, Lilis, Dangdut, kesenian sinden, japong, dan sbagainya, akan segera masuk ke kategori "kelas bawah" dan "kampung" dalam alam pikiran kita...tanpa sadar, Secara otomatis. Bedakan dengan Shania, Laura, benigno, Ceila, Agatha, musik pop, musik Jazz, musik Classic, yang akan otomotis terdengar elite dan lebih "kota". Tak perlu malu. Gue sendiri juga terus terang sudah terperangkap dalam pencitraan seperti itu. Secara sadar dan tidak sadar, suka atau tidak suka, malu-malu atau terbuka, gue harus akui, gue sendiri secara "tanpa sadar" merasa nama Titin Sumarni akan terdengar kampung jika dibandingkan dengan nama Cornellia Agatha, misalnya. Ayolah ngaku....
Almarhum Eyang Mama punya koleksi film original, dari jaman budayawan besar Usmar Ismail, Teguh Karya, dan budayawan besar Malaysia P Ramlee. Usmar Ismail dan Teguh Karya, siapa yang berani meragukan kehebatan nama-nama budayawan besar semacam itu? Film-film mereka menjadi klasik dan dikenang sampai kini. Gue beberapa kali melihat film-film yang mereka buat. Dan yang gue heran, nama-nama dan muka-muka bintang filmnya masih didominasi nama-nama daerah dan muka-muka melayu. Titin Sumarni, Kokom Komalasari, Rahmat Kartolo, Aminah Cendrakasih, Rahmat Hidayat, Aida Mustafa, Lilis Suryani, Leni Marlina, Slamet Rahardjo, Maruli Sitompul, Soekarno M Noor, tak ada satu pun yang berwajah bule. Kecuali S Bono, dan lain-lainnya yang bisa dihitung jari. Dan coba perhatikan nama-nama mereka. Bandingkan dengan nama-nama artis sinetron kita sekarang. Tapi coba bandingkan kualitas film yang mereka buat dengan sinetron-sinetron yang ada sekarang.
Kalau sekarang nama-nama seperti itu melamar jadi artis, pasti sudah dirubah biar "agak komersial dan tidak kampungan" sebab nama-nama orisinal Indonesia begitu, terkesan kampung dan tidak laku.
Entah kapan dimulainya, penggerusan nilai-nilai "kedaerahan" itu. Yang jelas, memang sudah ada niat secara terstruktur, untuk merubah pencitraan dalam pikiran masyarakat Indonesia. Bahwa nilai-nilai kebudayaan Indonesia dan ketimuran harus ditinggalkan, karena itu hanya sesuai dengan era lama, jadi kuno dan kampungan, tidak modern dan sesuai jaman.
Dan kita baru marah dan kebakaran jenggot, ketika Malaysia mulai "mengclaim" bahwa nilai-nilai budaya yang sudah kita lupakan dan kita anggap kampungan itu, sebagai bagian dari budaya mereka. Bukan budaya Indonesia. Kita baru sadar, akan "keIndonesiaan" kita, ketika ada yang mengusik budaya-budaya tak penting dan kampungan tadi.
Sebenarnya apa yang terjadi? Ini salah siapa? Cobalah berpikir jernih dan bercermin pada diri sendiri. Berpikirlah tenang dan tanya pada nurani. Apakah benar ucapan-ucapan saya diatas? Apakah memang cara berpikir kita selama ini sudah demikian salah. Mari kita coba introspeksi.
Coba berpikir, siapa yang mulai menciptakan citra, bahwa nama Juminten itu kampung dan nama Laura itu kota? Siapa yang mencitrakan bahwa musik melayu itu kampung dan Rock Alternative itu keren? Siapa yang mulai mencitrakan bahwa Waljinah dan Etty Kurnia itu sinden kampung dan Shanti (baca: "Shyhantjie" bukan "santi", tapi pake suara 'S' mendesissss, dan suara 'T' dibaca seperti mengucapkan 'Ce', jadi dibaca seperti bunyi "Syanci", sebab kalau dibaca "Santi" biasa, akan terdengar kampung) adalah penyanyi kota. Siapa yang mulai menciptakan pencitraan seperti itu? Dan kapan mulainya?
Indonesia dan Malaysia adalah saudara Kandung. Terlahir dari ras dan rumpun yang sama. Hanya sejarah dan keadaan yang memisahkan kita. Indonesia dijajah Belanda, dan Malaysia dijajah Inggris. Jadi ketika perang usai, claim "negara" yang dibuat adalah berdasarkan garis teritory jajahan tersebut. Tak perduli bahwa Malaysia dan Indonesia itu saudara sekandung. Pembagian harus sesuai dengan perjanjian para penjajah.
Dan setelah pemisahan itu, perkembangan dua siblings (saudara kandung) ini menjadi lain sama sekali. Malaysia dengan citra "Melayu Boleh"nya, mencoba tetap mempertahankan citra ketimurannya dari hantaman dan gempuran westernisasi yang coba menggerus apa saja. Dan marilah kita sebagai bangsa Indonesia mengakui, bahwa usaha mereka itu jauh lebih baik dari apa yang terjadi di Indonesia. Apakah itu mungkin karena kekuatan ekonomi mereka yang lebih baik? Sehingga mereka merasa lebih percaya diri untuk berkata budaya Melayu, CIna, dan India itu tidak kalah bagus dari budaya bule? Patut dicatat, bahwa Malaysia itu memiliki 3 budaya besar dalam negaranya, Melayu, Cina, dan India. Malaysia sebagai bangsa "bekas" terjajah, sudah bangkit dan menuju negara maju. Dan tetap berusaha mencitrakan "Melayu boleh"nya.
Sementara Indonesia yang ekonominya masih morat-marit, sebagai bangsa "bekas" jajahan, jadi serba tak Pede menghadapi negara-negara "bekas" penjajah tadi, jadi pengekspor tenaga kerja kasar terbesar ke 2 didunia setelah India, korupsi terbesar kesekian didunia, pendidikan terburuk kesekian didunia, dan lain-lain. Tadinya selalu memimpin jadi yg terbesar di ajang olahraga Asia Tenggara, bahkan di Asia. Tapi sekarang semakin terpuruk saja.
Itu semua menjadikan kita menjadi warga Indonesia yang tak punya kebanggaan. Jalan pintas untuk mencapai kebanggaan itu adalah menjual mimpi bahwa kita juga bisa menjadi seperti negara-negara maju itu. Mimpi bangsa terjajah itu terus melekat hingga sekarang. Yang berhidung mancung, putih, dan berbicara cadel itu menjadi "tokoh" ideal kita. Cobalah berpikir jernih. Gue pun mengalami distorsi pemikiran semacam itu.
Nama-nama yang gue sebutin diatas, Siti Nurhaliza, Ahmad Tarmizi, Syarifah Aini, adalah nama-nama artis yang pernah atau masih populer di Malaysia. Dan banyak nama-nama seperti itu bercokol diarena gemerlap dunia elite Malaysia. Gue sekolah di London, dan sebagai pusat "the commonwealth", pusat pemerintahan bagi bekas jajahan Inngris Raya, banyak sekali warga negara-negara bekas jajahan Inggris menyekolahkan anaknya kesini. Termasuk India dan Malaysia. Dan sering sekali teman-teman Malaysia gue yang nota bene berasal dari kalangan "the elite and the haves" di Malaysia, pergi keluar mengenakan baju kurung, sama sekali tidak merasa canggung, atau malu. Ataupun merasa kampungan. Begitu juga teman-teman dari India gue, yang juga dari kalangan "the elite and the haves", tidak canggung keluar mengenakan sari. Tidak pernah merasa kampungan. Nahhh gueee???? Gak usah malu deehhh mengaku.... Mau pake kebaya keluar ke mall??? Tidak lah yaaa.... kalo pake batik masih mau. Pake kebaya??? No way jose.... Terus kenapa gue marah ya... ketika Malaysia mengclaim batik dan kebaya itu budaya mereka???? Aneh gak???
Coba deh maen ke dunia elite gemerlap orang-orang Indonesia. Kalau nama kamu siti, atau Abdul, mending diganti deh, kalau tidak ingin malu dibilang kampung. ganti jadi Sania atau Thomas. Biar lebih keren.
Padahal coba deh pikir, siapa yang berani bilang nama Abu Rizal Bakri atau Baharuddin Habibie itu kampung dan tidak elite??? Siapa bilang Sania yg bernama asli Siti Tuti Susilawati itu lebih hebat dari Menteri Keuangan kita yg bernama agak kampung Sri Mulyani.
Coba masuk ke hotel-hotel berbintang di Indonesia. Hotel-hotel kelas atas. Bisa dihitung jari hotel-hotel yang menyediakan masakan khas Indonesia. Semua serba luar. Coba anda pergi ke Malaysia, Hilton dan Ritz Carlton pun menyediakan rendang. Walau rasanya bukan seperti rendang Padang.
Terus kenapa kita marah ketika mereka mengclaim rendang itu masakan khas mereka?
Artis Malaysia, mau sehebat apa pun reputasinya, bahkan sekelas mantan artis International pertama mereka Anita Sarawak, pasti punya album lagu-lagu Melayu.
Di Indonesia? Bisa rusak citra Peter Pan kalau buat album rekaman Melayu. Amboy...
Terus kenapa kita marah kalau Malaysia mengclaim bangsa mereka sebagai bangsa Melayu sejati??
Salah siapa ini semua? Jawabnya salah kita semua.
Pembunuhan secara perlahan-lahan nilai-nilai budaya nasional kita sudah dimulai lama sekali. Sadar atau tidak sadar, kita semua bertanggung jawab didalamnya. Pemerintah, Masyarakat, dan Media massa terutama yang memulai mempropagandakan bahwa nilai-nilai berkesenian dari budaya asli Indonesia itu terkesan kampung dan ketinggalan jaman.
Pembunuhan karakter budaya seni Melayu itu, sudah dimulai dari era enam puluhan. Era bokap nyokap gue. Saat bokap nyokap gue masih remaja, majalah orang muda paling terkenal itu adalah majalah "Aktuil". Dan dimotori oleh Om Remisilado, musik Melayu itu mulai dicitrakan sebagai "musik kampungan", musik kalangan kelas bawah. Penamaan lagu Melayu itu menjadi lagu "Dangdut" pun dimulai oleh majalah ini. Mulailah pencitraan seni budaya Indonesia itu sebagai seni budaya kampung tak berkelas dilakukan secara besar-besaran. Gue tidak tau, kalau ditanya sekarang pendapatnya tentang penisbian budaya Indonesia itu, apakah om Remisilado masih memiliki pandangan yang sama, sperti waktu dia masih muda dulu.'
Dan pembunuhan karakter budaya Indonesia itu, pelan tapi pasti, mulai memperlihatkan hasil. Pencitraan budaya negeri itu kampungan dan ketinggalan jaman mulai merebak kemana-mana. Media massa dan kalangan, artis seni budaya sendiri punya andil besar didalamnya. Perusakan citra itu benar-benar menjadi bumerang bagi pertumbuhan bangsa ini.
Kita tidak dapat menyalahkan kaum pengusaha yang berorientasi komersial itu. Memang tugas mereka untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Tanpa perduli nasib seni budaya kedepan. Nasib bangsa ini secara utuh dan solid. Dan disitulah peran pemerintah sebenarnya harus menjembatani. Pemerintah harus punya niat untuk mempertahankan citra besar bangsa ini. Jangan dibiarkan dilepas kepada para pengusaha komersial yang pasti lebih mementingkan keuntungan.
Pertengahan tahun 80-an, awal tahun 90-an di Malaysia, mantan PM Mahathir Muhammad ketika itu, mengeluarkan dekrit tentang penanganan wilayah media komersial. Ketika itu, dengan alasan komersial dan sederhana, media massa mulai lebih memilih wajah-wajah indo sebagai penjual produk. Wajah-wajah Melayu mulai tersingkirkan. Iklan-iklan lokal pun mulai tersingkirkan, diganti produk-produk iklan import. Ketika itu Mahathir meminta seluruh media untuk lebih memilih wajah-wajah Melayu, Cina, atau India, artinya wajah-wajah lokal, dibanding wajah-wajah bule. Iklan-iklan harus 80% di produksi dalam negeri Malaysia. Kala itu dia diketawai. Dikira otoriter mencampuri hal-hal seperti itu. Tapi terbukti sekali lagi, Mahathir memang punya visi penyelamatan citra bangsa.
Sementara penggerusan hegemoni itu meluluh lantakkan Indonesia, menggantikan nama-nama yg tadinya dianggap bagus, Leni Marlina, Titin Sumarni, Rahmat Hidayat, dan Kokom Komalasari menjadi Yatti Octavia, Meriam Bellina, Roy Marten, dan Tamara Blezensky... di Malaysia nama-nama Siti, Rahmat, Abdul, dan hamidah tetap dianggap bagus. Lantas siapa yang salah?? Kenapa kita marah Malaysia mengclaim batik itu milik mereka?
Sekarang sangat susah mencari wajah berhidung pesek dan berkulit agak coklat di dunia sinetron kita, yang tiap hari merasuk pikiran berjuta-juta rakyat. Wajah seperti Christine Hakim, Yenni Rahman, atau leni marlina yg rata-rata berhidung pesek, tidak akan masuk hitungan lagi. Pelan tapi pasti kita diminta untuk meninggalkan budaya sejati Indonesia. Termasuk gue, sudah termakan pencitraan seperti itu.
Baru-baru ini saja beberapa stasiun televisi menggalakkan penggunaan batik bagi para anchornya dalam acara berita. Itu pun setelah Malaysia menclaim batik sebagai bagian dari budaya mereka. Kalau tidak??? Selama ini semua stasiun TV hanya memperlihatkan pembaca berita berjas dan berpantalon. Lupakan batik yang kampungan itu. Tidak sesuai buat stasiun TV. Gue tinggal menunggu, kapan penyiar TV wanita akan berkebaya, menunggu Malaysia menclaim juga?
Lantas kenapa kita marah pada Malaysia??
Pertengahan tahun 90-an, pemerintah Indonesia pernah menghimbau untuk menggunakan kata-kata Indonesia bagi semua tempat umum dan komersial. Kala itu bahasa Indonesia sudah mulai tersingkirkan oleh bahasa Asing. Bahasa Indonesia mulai terbunuh karakternya sebagai bahasa kelas kampung. Terutama untuk nama-nama komersial, nama-nama semacam Green Ville, Citra Grand City, Grand Mahakam,  dlsb, sudah menjadi santapan sehari-hari. Waktu itu para pengusaha menanggapinya dengan positif, jadilah Green Ville diganti jadi Grin Vil (maksa ya boookk...), Citra Grand City diganti jadi Citra Raya, dan Grand Mahakam menjadi Hotel Mahakam. Banyak nama-nama tempat elite juga memakai bahasa Indonesia, seperti Jalan-jalan, Padi-padi, Matabar, Bengkel, dll. Dan kuping gua merasa nama-nama Indonesia itu pun sama elite dan baiknya dibanding bahasa asing. Tapi itu hanya bertahan sebentar. Dan kembali pembunuhan karakter bahasa Indonesia itu dimulai lagi. Coba aja lihat nama-nama daerah pemukiman sekarang. The Green, Kebayoran Heights, The Peak, apalagi di wilayah Cibubur sana.... wwuuuyyy... serasa anda sedang di Eropa kalau mendengar nama-namanya. Bukan di Indonesia. Dan gue bingung, nama-nama mentereng itu apakah bisa menyamai pemukiman dengan memakai nama-nama kampung bersahaja semacam Pondok Indah, Kelapa Gading, Bintaro Jaya, bahkan Menteng dan Kebayoran. Apakah nama-nama mentereng itu bisa mengalahkan nama-nama pemukiman elite yg make bahasa Indonesia kampung itu??? Silahkan aja mikir.
Sebenarnya Media Massa punya peranan sangat besar dalam pencitraan budaya bangsa. SANGAT BESAR.
Budaya Indonesia itu bisa dibuat dan dicitrakan "kampungan" dan "murahan" atau bisa dicitrakan "elite dan "modern" tergantung kita semua.
Majalah Aktuil sudah sangat "berhasil" dan "berjasa" membunuh karakter seni Melayu Indonesia. Menciptakan generasi yang merasa dangdut itu jenis musik kampungan. Dan pembunuhan karakter budaya bangsa itu terus dilakukan sampai sekarang, secara sadar atau tidak. Dan gue pun termakan putaran arus pembunuhan karakter budaya itu. Mengakulah, jangan malu.
Kini pembunuhan karakter itu terus kita lakukan, perlahan-lahan. Kita ingin menjadi seperti Eropa dan Amerika. Budaya kita kampung. Wajah-wajah kita kampung. Lidah-lidah kita kampung. Jadi kita bermimpi punya anak berwajah Indo. Kita bermimpi berbicara dengan cadel, kita ke dokter buat operasi hidung, kulit, dan mata. Sebab kita malu hidung kita pesek, kulit kita coklat, dan mata kita sipit.
Pelan tapi pasti, kita membunuh jati diri kita sendiri, karena kita bermimpi ingin seperti negara lain.
Budaya itu adalah legacy, warisan turun temurun, bukan milik perorangan dan pribadi. Tidak memiliki hak paten dan claim. Sebagai warisan, siapa yang paling memegang amanah lah yang paling berhak memilikinya. Dan kita harus mengakui, dalam persaingan antara dua saudara sekandung (the sibling rivalry), Malaysia dan Indonesia, dalam hal seni budaya "Timur", siapa yang lebih memegang amanah?? Sukarela atau terpaksa, kita harus mengakui saudara kandung kita itu lebih memegang amanah budaya dari pada kita. Kenapa kita tidak berikan saja amanah itu kepada mereka? Agar kita dapat benar-benar 100% menjadi bangsa Eropa ayau Amerika? Kita tidak perlu marah pada Malaysia karena mereka lebih teguh memegang amanah budaya itu. Kita masih bisa menciptakan budaya sendiri yang mengikuti pola yang menurut kita lebih elite dan moderen. Terus terang gue juga merasa budaya Indonesia itu memang kampungan. Entah darimana citra itu ditanamkan dikepala gue. Enakan jadi orang Eropa dan bule, lebih elite dan exclusive aja rasanya...hikss....
Ini cuma test kecil-kecilan.... Coba test diri anda sendiri menurut anda mana lebih bagus dan elite antara kedua nama ini. Mana yang lebih pas untuk menjadi orang yg dalam pencitraan pikiran anda lebih "elite" dan tepat menjadi artis ternama. Nama yg menggunakan unsur budaya daerah (Jawa) semacam Sri SundariWoro atau nama yg berbau bule Renata Williams, coba pikirkan sejenak. silahkan jawab sendiri. Kalau anda merasa nama jawa itu terdengar kampung dan jelek... artinya memang ada yang salah dalam cara berpikir bangsa ini mengenai budaya sendiri. Jadi sepatutnya lah anda tak perlu marah kalau Malaysia mengclaim lebih memegang amanah budaya dari Indonesia.
Sudah sepantasnya kita serahkan pengurusan amanah warisan budaya itu ke saudara kandung kita Malaysia, agar kita lebih leluasa mengejar mimpi-mimpi kita menjadi salah satu negara satelit eropa dan bule. Berat  ya boookk tugas menteri pendidikan dan kebudayaan....

No comments:

Post a Comment