whose side are you on

whose side are you on

Wednesday, March 16, 2011

Books Of Silent Objection: The OmniGate ----- A Coin for Prita

Kalau kita lagi main ke jogja dan bertemu dengan salah seorang kerabat Sri Sultan yang kebenaran teman satu sekolah bareng di London dulu, ada satu lelucon yang sering kita pakai buat ngeledek teman kita ini. Apa beda Sri Sultan dan rakyat jelata kalau lagi protes? Kalau Sri Sultan, marah dengan manner, dengan style, emosi disamarkan dalam bentuk sarkasme, tanpa sumpah serapah, tapi membuat yg jadi sasaran merah padam tengkurep. Sementara rakyat jelata kalau marah penuh caci maki, tereak-tereak, yang malah bikin malu diri sendiri.

Itu kalau kita berbicara untuk kraton Jogja, kalau kita berbicara pada institusi hukum Indonesia, dan pada rumah sakit-rumah sakit di Indonesia, mungkin banyolan itu tidak berlaku. Tentu anda pernah dengar kasus Perseteruan Prita dengan Rumah Sakit Omni International. Sepertinya kasus ini sudah terdengar ke penjuru Indonesia. Malah jangan-jangan anda termasuk salah seorang yang menyumbang coin buat Prita. Saya iya... Saya ikut menyumbang coin buat Prita...hikhikhik... Cuma sekedar ikut prihatin dan solider aja.

Koin buat Prita. Itulah solidaritas rakyat kecil buat satu bentuk ketidak adilan di Indonesia. Protes keras yang dilakukan dengan tulus dan penuh gaya. Protes dengan style. Protes dengan sarkasme. Tanpa emosi. Tanpa demonstasi. Tanpa caci maki. Namun secara telak meninju wajah system peradilan di Indonesia. Menampar muka system pelayanan kesehatan di Indonesia. Meng “KO” kan dua institusi yang sering berlaku sombong itu. Sekarang joke di atas tadi terbalik. Rakyat jelata lah yang protes dengan cerdas, protes dengan style, protes dengan cara yang sangat sarkastik.

Siapa bilang rakyat Indonesia itu barbar? Koin buat Prita itu membuktikan rakyat Indonesia mampu melakukan perlawanan dengan damai. Membantah ketidak adilan dengan diam. Tapi dengan tindakan. A silent objection.

Kita sudah sangat sering mendengar perlakuan rumah sakit yang sangat komersial. Memanfaatkan ketidak tahuan pasien untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Kita bosan melihat rumah sakit yang sangat tidak punya nurani seperti itu. Yang hanya mengejar untung. Okelah, mengejar untung, karena RS itu memerlukan investasi besar. Mereka memang bukan lembaga social. Tapi menarik untung dengan
cara-cara tak manusiawi seperti itu??? Mengerikan sekali.

Dulu bagi para dokter yang masih idealis, operasi adalah cara terakhir yang harus dipilih. The last resort. Kalau masih dapat disembuhkan/dilakukan tanpa operasi, sebaiknya menghindarkan operasi. Tapi
sekarang? Semua RS berlomba-lomba menawarkan operasi. Perlu atau tidak, lebih baik operasi. Sebab operasi tentu lebih mahal dan menghasilkan duit. Masih bisa rawat jalan, dibuat sedemikian rupa agar jadi rawat inap. HB masih belum terlalu rendah, ditakut-takuti bahkan dengan berbohong HB rendah, agar si pasien mau dirawat inap dengan alasan demam berdarah. Agar si pasien bisa diperas duitnya.
“Digetok” Istilah para dokter komersial tersebut. Itu sudah jadi rahasia dapur rumah sakit-rumah sakit komersial.

Sama persis seperti istilah bengkel kendaraan bermotor. Coba deh anda ke bengkel. Kalau anda tidak kenal baik bengkel atau montirnya, pasti anda “digetok”, itu istilah yang dipakai. Memanfaatkan ketidak
tahuan anda soal mesin kendaraan, yg seharusnya rusak hanya satu bagian, bisa berpuluh-puluh onderdil yg diganti, entah apa saja. Yang ujung-ujungnya anda harus merogoh kocek lebih dalam lagi. Sama seperti Rumah Sakit komersial sekarang. Entah anda butuh rawat inap atau tidak, sebaiknya diinapkan. Entah anda butuh operasi atau tidak, sebaiknya operasi saja. Yg penting harus bayar lebih. Plis
deh dok... Ini urusannya manusia, bukan kendaraan bermotor.

Dan kalau anda curhat ke teman2 anda, mengenai perlakuan RS yang tak manusiawi seperti itu, melalui Face-Book, para jaksa dan hakim sudah siap-siap membela kepentingan pemodal-pemodal besar itu. Siapa juga yang mau mengurus curhat Prita, seorang ibu rumah tangga tak berduit. Kalau membela kepentingan RS-RS itu kan, anda bisa mendapat layanan medical check up gratis. Anda dan keluarga anda sebagai jaksa dan hakim, bisa dimurahkan biaya berobatnya. Gratis kalau perlu. Banyak keuntungan yg diperoleh. Sementara kalau membela hak warga Negara kerdil semacam Prita? Siapa juga yg diuntungkan? Iya tidak?

Sebagai seorang jaksa atau hakim memang anda dituntut untuk menegak kan hukum seadil-adilnya. Menerapkan kata per kata setiap pasal dan bab undang-undang di Negara ini. Tapi kata-kata dan pasal-pasal itu hanyalah deretan huruf. Lembaran kertas. Tidak berjiwa dan berakal. Sebagai seorang manusia, apalagi seorang makhluk beragama, Jaksa dan hakim juga dituntut untuk memiliki nurani dan akal sehat. Bukan hanya an-sich menjalankan barisan huruf dan kata dalam kitab undang-undang itu. Sebab kata hati nurani anda yg paling bersih dan terbebas pengaruh apapun itulah keadilan yang seadil-adilnya. Hakim dan jaksa jelas bukan binatang, yang tak punya akal dan nurani.

Jadi warga Negara jelata kerdil, di Indonesia, memang harus siap untuk prihatin. Dilarang curhat dan berkeluh kesah mengenai apapun, termasuk pelayanan medis yg sangat komersial. Warga Indonesia harus menerima diperlakukan semena-mena olah para pejabat dan RS-RS hebat itu. Karena para Jaksa dan para hakim akan dengan senang hati membela kepentingan para RS kaya raya itu.

Saya benar-benar tidak dapat mengerti, bagaimana seandainya kejadian yg sama menimpa keluarga para jaksa dan hakim tersebut. Anaknya atau istrinya diperlakukan seperti Prita oleh sebuah RS. Ho.ho.ho.ho.... bodoh sekali saya. Mana mungkin banget RS memperlakukan kerabat Jaksa dan Hakim seperti itu? RS juga pintar untuk memilih milih mangsa. Orang-orang lemah semcam saya, anda, atau Prita lah yang pantas diperlakukan semena-mena....hohohoho.....

Tapi rakyat tidak bodoh. Dan rakyat semakin terbentuk solidaritasnya, oleh teknologi yang ada. Koin untuk Prita itu bukti. Silahkan lah para Jaksa, para hakim, dan para dokter untuk tetap bersikap komersial. Hanya membela kepentingan orang2 berduit. Silahkan berlaku begitu seterusnya.

Koin untuk Prita itu sudah merupakan dasar gerakan moral perlawanan masyarakat terhadap ketidak adilan. Sekarang gerakan itu masih dilakukan dengan diam. Dengan penuh gaya. Dengan Indah. Berlakulah selamanya tidak adil, dan tunggu sampai silent objection itu berubah menjadi huru-hara mengerikan...... Mudah2 an tidak akan kejadian. Mudah2an akan ada seorang pentolan hukum di Indonesia, yang mau dengan tulus membersihkan tikus dan kutu busuk yang berada di dalam kejaksaan
dan kehakiman. Tugas berat memang, terasa muskil? Tapi saya masih mau berdoa dan berharap. Apakah anda juga masih berharap?

No comments:

Post a Comment