whose side are you on

whose side are you on

Monday, March 5, 2012

Books of Civil Servants --- Apa Kata Dunia?

Indonesia adalah negeri paradox. Negeri penuh salah kaprah.

Temen-temen gue yg suka "bermojok ria" di Camfrog, sering dibuat kesal setengah mati, kalo ngeliat banyaknya Pegawai Negeri Sipil (PNS), tentara, polisi, aparat keamanan dan pamong praja lainnya yang "berchating ria" di Camfrog pada saat jam kerja kantor.
Masih berseragam, di kantor, menggunakan segala fasilitas kantor pula, masih jam kerja kantor pula.
Kalau dibandingkan dengan private company (perusahaan swasta), dilihat dari segala sudut pandang manapun, cara kerja seperti itu sudah jelas-jelas menyalahi aturan perusahaan. Kalaupun mereka beralasan mereka menggunakan computer pribadi dan modem pribadi, tidak menggunakan fasilitas kantor, tetap saja mereka menggunakan jam kerja kantor. Tetap saja orang bisa melihat baju dinas PNS mereka. Dan tetap saja mereka menggambarkan jeleknya ethos kerja PNS.
Chating diruang umum saja sudah menggambarkan jeleknya ethos kerja, apalagi ini chating di ruang dewasa, yang nota bene penuh dengen kegiatan esek-esek, benar-benar merendahkan martabat PNS dan pamong praja.

Gue sungguh bingung sama negara ini, Briptu Norman yang cuma berdendang India di Youtube, bukan dichating room yang mempertontonkan toked dan payudara segeda semangka, sudah bikin heboh negara. Lha ini? Seribu PNS, tentara, polisi, segala macam aparat dan pamong praja, lengkap dengan baju dinas, nongkrong berjam-jam di "ruang maya esek-esek", pamer-pamer muka, tidak pernah diapa-apain. Bingung gue.
Mungkin sekali-sekali para boss besar PNS dan para Jenderal aparat itu perlu masuk ke Camfrog 18+, biar tau apa isinya ruangan chating kayak begituan. Kegiatan yang sangat merendahkan citra PNS dan Pamong Praja.

Teman gue bilang negara ini memang negara penuh salah kaprah dan paradox.

Beratus-ratus tahun Indonesia dijajah oleh negara Asing. Terutama Belanda dan Jepang.
Di masa penjajahan Belanda ketika itu, untuk meneguhkan kekuasaannya, Belanda memang harus menanamkan dalam pikiran bangsa jajahannya (Indonesia), bahwa Belanda adalah bangsa super dibandingkan bangsa pribumi. Bangsa yang berhak menguasai Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pencitraan melalui "Bahasa Keras", untuk menciutkan hati bangsa Indonesia.
Contoh-contoh paling umum mengenai "Bahasa Keras Pencitraan" itu adalah Kuli, Babu, Tuan dan Nyonya. Pencitraan penjajah yang posisinya dilangit dengan panggilan Tuan dan Nyonya, serta babu dan kuli bagi warga terjajah yang harganya tak lebih mahal dari sekilo kentang. Di jaman penjajahan Belanda, panggilan Kuli dan Babu itu bagi pekerja kasar Indonesia (bangsa terjajah), sangat umum dan lumrah. Itu adalah bahasa sehari-hari.

Setelah Indonesia merdeka, banyak sekali bahasa pencitraan bangsa penjajah semacam itu dihapus dan diganti dengan bahasa-bahasa euphemisme. Bahasa yang lebih halus dan manusiawi. Kuli diganti buruh. Babu diganti pembantu. Tuan dan nyonya berubah jadi bahasa proletar, "Bung". Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, Bung Tomo, tidak ada lagi Tuan dan Nyonya.
Panggilan "Bung", yang merupakan bahasa revolusi, bahasa yang menentang segala bentuk bahasa pencitraan bangsa penjajah itu menjadi sangat populer ketika itu. Dimasa-masa euphoria revolusi kemerdekaan sedang merebak. Indonesia yang beratus tahun menjadi bangsa kelas kuli dan babu, mencoba bangkit. Dan bahasa "revolusi" semacam "Bung" itu ingin menyatakan kesetaraan. Semua orang setara, tidak ada yang dilangit, tidak ada yang dicomberan. Semua dipanggil "Bung". Bahkan Presiden dan Wakilnya pun dipanggil "Bung". Euphoria bangsa jajahan yang baru merdeka. Semua manusia sama. Semua "Bung". Tidak ada Tuan, Nyonya, Kuli dan Babu.

Namun anehnya, atau paradoxnya, bahasa keras pencitraan penjajah Belanda, yang memakai kata "Pemerintah" untuk mengartikan "Government", tak pernah diganti hingga kini. "Government" yang seharusnya dalam bahasa Indonesia lebih tepat diartikan sebagai "Penata", "Pengelola", atau "Pengatur", sampai sekarang masih diartikan sebagai "PEMERINTAH".
Bangsa belanda yang memang ingin tetap menjadikan bangsa Indonesia sebagai jajahannya, memang sengaja memberikan "pencitraan keras" kepada kata "Government" ini. Belanda memang ingin menegaskan, bahwa mereka adalah "Pemerintah" sementara bangsa indonesia adalah "Yang diperintah". Bangsa Indonesia harus menurut apa saja kata Belanda. Sekali lagi, hubungan Tuan & Nyonya, dengan Kuli dan Babu. Pokoknya kita yang perintah, lu semua ikut perintah dan aturan.

Jadilah pencitraan warisan jajahan yang salah kaprah itu, menjadikan komponen negara yang dinamakan "Government", hingga kini tetap jadi tukang perintah. Tak pernah kerja bener, semua rakyat harus turut perintah. Warisan pencitraan penjajah itu tetap dilanggengkan hingga kini.
Cobalah buka segala kamus yang ada di dunia, kata "To Govern" itu, tak pernah dihubungkan kepada kata "Perintah".
Di semua buku text yang pernah gue baca, termasuk "Oxford English Dictionary", kamus text-book yang paling diakui, kata "To Govern" itu lebih dihubungkan kepada masalah regulasi, aturan, dan tatanan. Tidak ada hubungan pada "perintah" (to command).

Kata "Perintah" itu lebih kearah hubungan atasan bawahan, pada kekuasaan, berbau militeristik. Bangsa Belanda memang sangat jitu mentranslasikan kata "Government" itu menjadi kata "Pemerintah" dalam bahasa Indonesia. Menanamkan pengaruh citra kekuasaan kepada semua masyarakat. Dan kebodohan bangsa Indonesia lah yang tetap memakai kata pencitraan warisan penjajah itu, tetap menjadi kata yang dipakai untuk mendefinisakan komponen negara yang memiliki wewenang untuk menata/mengelola peri berkehidupan masyarakat.

Dan jadilah salah kaprah dan salah penanaman citra itu membuahkan ethos kerja yang sangat "aneh" di komponen negara yang bernama "Pemerintah" itu sampai sekarang. Kita sudah merdeka puluhan tahun, tapi tetap saja pegawai "Pemerintahan" negara ini bekerja bak layaknya penjajah. Hanya bisa memerintah. Dan selalu harus dilayani.

Penanaman citra bangsa jajahan selama ratusan tahun, benar-benar menghasilkan Indonesia tetap menjadi bangsa kelas "kuli" dan "Babu". Hal itu diperparah pula oleh tokoh-tokoh pemimpin bangsa ini kemudian hari, yang justru tetap melanggengkan citra yang dibuat bangsa penjajah tadi.

Pegawai Negeri Sipil, yang dalam bahasa Internasionalnya adalah "Civil Servants", yang terjemahan bebasnya adalah "Pelayan Masyarakat", tetap menjadi penjajah. Tetap menjadi tukang perintah. Tetap menjadi penguasa feodal yang harus dilayani. Bukan melayani masyarakat malah justru minta dilayani masyarakat. Persis seperti penjajah, Sudah kebolak-balik karena salah pencitraan itu. Hal itu bisa terjadi, karena dua pemimpin bangsa ini terdahulu, sangat salah menggunakan kekuasaannya.

Harus diakui, Sukarno dan Suharto memang sangat berjasa bagi negara ini, tapi juga tetap harus diakui, kedua pemimpin itu yang diawal kekuasaannya mungkin memiliki visi yang murni pengabdian bangsa dan negara, berubah menjadi tak terkendali, setelah merasakan nikmat kekuasaan. Pegawai negeri yang menjadi komponen vital suatu bangsa, pada masa Sukarno dan Suharto, justru dijadikan motor politik untuk melanggengkan kekuasaan. Dan jadilah PNS yang seharusnya menjadi "pelayan masyarakat" itu, tak pernah merubah ehos kerjanya. Jadilah komponen negara yang sangat vital bagi kemajuan bangsa itu, berjalan ditempat perkembangannya. Mandeg. Mati suri. Dan masih tetap bertahan pada ethos kerja penjajah, yang bahkan sudah hilang dari muka bumi.

Pada jaman Sukarno, dengan "TAVIP" dan "Demokrasi Terpimpinnya", PNS dan angkatan bersenjata, dipolitisir sedemikian rupa dalam kantong-kantong partai politik. Terpecah-pecah saling fitnah dan mencurigai. Sukarno memang mengkondisikan seperti itu. Agar dia tetap menjadi tokoh pemersatu. Diteruskan dengan politik "Ganyang Malaysia", tetap, dibutuhkan tokoh pemersatu.
Pada jaman Suharto, lebih parah lagi, PNS dikembangkan menjadi kantong politik GOLKAR, dengan "KOKAR-MENDAGRI"nya yang menjadi cikal bakal "KORPRI". PNS cuma dijadikan alat politik kantong pengumpulan suara. PNS harus GOLKAR. Jumlah PNS digelembungkan sedemikian besar, agar bisa menjadi "pion-pion politik" Golkar di seluruh Indonesia. Tak perlu keluar duit banyak-banyak buat kampanye, manfaatkan PNS.
Harus diakui "kecerdasan politik" Suharto memang sangat tinggi. Dia berhitung dengan segala resources. Sangat cerdas mempertahankan roda politiknya.

Warisan ekonomi morat-marit yang diberikan Sukarno pada Suharto memang sangat berat. Negara benar-benar hampir bangkrut. Duit negara yang pas-pasan, tidak cukup memberikan lapangan pekerjaan. Rakyat harus diberi kerja dan makan. Satu cara adalah memperbanyak pegawai negara/publik. Untuk 1 pekerjaan yang harusnya dapat dikerjakan oleh 1 orang, rekrut 5 orang pegawai. Gaji 1 orang dibagi ber 5. Yang penting ada kerja dan ada duit buat makan. Itu dulu. Nanti urusan lain belakangan. Masalah kemampuan kerja dan kapabilitas nomor sekian. Yang penting rakyat tidak bingung dulu.

Akan tetapi strategi politik yang seharusnya jangka pendek itu, kemudian tetap dipertahankan kedepan. Karena ternyata jumlah PNS yang sangat besar itu, memang sangat berpengaruh bila dijadikan kantong politik. Jadilah strategi politik komunis dijalankan.
Golkar menjadi "Think-Tank" negara, PNS yang menjadi pelaksana. Segala policy, strategi, regulasi Negara dirumuskan dan dilakukan oleh orang-orang Golkar yang memang cerdas-cerdas, dan PNS tetap "HANYA" menjadi pelaksana. Tetap menjadi bodoh.
Persis seperti Cina, yang segala strategi kenegaraan dilakukan oleh Partai Komunis, dan diexecute oleh pegawai negara.
PNS tetap menjadi alat politik. Tetap sombong hanya menjadi "tukang perintah".

Pembusukan PNS puncaknya memang terjadi di Jaman Suharto. PNS dimanja sedemikian rupa, asal tetap menjadi kantong politik Golkar. Segala peraturan perundangan untuk PNS dibuat sedemikian rupa, sampai sangat membingungkan, agar PNS tidak berani "macam-macam" melawan Golkar. Urusanh kenaikan pangkat dan gaji, urusan penempatan, urusan pekerjaan, regulasinya dibuat sedemikian rupa, agar PNS yang coba-coba "mbalelo" dapat dengan segera disikat.
Pokoknya jangan aneh-aneh, lu kerja yang baik saja, tak perlu ribut-ribut. Masalah lu mampu kerja atau tidak, itu urusan paling akhir, yang penting lu beserta seluruh keluarga handai taulan tetangga-tetangga dekat lu harus milih Golkar. Kalau begitu lu pasti aman. Masalah urusan strategi pengembangan bangsa, serahkan pada Golkar. Titik.

Maka PNS pun jadilah motor politik Golkar yang paling ampuh. Tak terkalahkan. Namun yang tidak masuk dalam pertimbangan Suharto kala itu (atau sebenarnya dia tahu cuma sengaja didiamkan), dalam jangka panjang, PNS yang seperti itu akan menjadi PNS bodoh. PNS korup. PNS tak punya daya saing.

Dan ketika Suharto jatuh, barulah semua borok PNS itu dapat terlihat dengan jelas. Sebenarnya dari dulu pun sudah kelihatan, hanya saja tidak ada yang berani mempermasalahkannya. Khawatir ditembak petrus. Termasuk gue...kwakwkakwkakw.....

Kamu yang pernah berurusan dengan PNS dan aparat negara, dibidang apapun, pasti merasakan betapa ethos kerja PNS itu benar-benar amburadul. Itulah ethos kerja warisan penjajah dan dua pemimpin otoriter. Jaman sekarang, bila ada yang menginginkan Indonesia dapat melompat dan melesat kedepan, satu-satunya cara adalah melakukan strukturisasi besar-besaran dalam tubuh PNS. Hanya dengan cara itu ethos kerja dapat dirubah.
Dan tanpa perubahan ethos kerja PNS, semua partai politik dan orang-orang pintar yang berkaok-kaok di televisi itu, hanya berbicara dengan lobang jendela. Lobang angin. Omong kosong.
Harus ada pemimpin yang berani melakukan revolusi ditubuh PNS. Indonesia sudah sedemikian jauh ketinggalan.

Cobalah kamu datang kesalah satu kantor pemerintahan. Kantor apa pun itu. Kantor Kementrian, kepala desa, Polda, kecamatan, polsek, polres, atau apapun. Cobalah amati kantor dan sikap para abdi negara itu melayani kamu. Tumpukan dokumen berserak dimana-mana. Orang-orang ngobrol dan baca koran seenaknya. Segala macam tukang jualan bebas berkeliaran. Dari tukang jual baso, tukang parfum, sampe tukang jualan baju kredit, bebas masuk berkeliaran. Belum lagi calo-calo dari berbagai macam suplyer. Sangat menyedihkan.

Kalau kamu pernah berjalan-jalan ke negara tetangga kita, bandingkanlah pola dan sikap kerja setiap pegawai negara masing-masing.
Kita bandingkan saja dengan negara yang masih kita anggap "setara", tak perlu membandingkan dengan negara maju semacam Singapore atau Inggris.
Kondisi setiap kantor negara di Indonesia, hampir sama dengan Filipina dan Vietnam. Sedikit lebih baik dari Birma. Jauh dibawah Malaysia dan Thailand.
Bayangkan keadaannya sekarang hampir sama dengan Vietnam. Padahal Vietnam baru lepas dari perang saudara tahun 70-an. Sementara Indonesia sudah merdeka hampir 70 tahun. Tinggal menunggu waktu Indonesia disalip juga oleh Vietnam.
Kalau Filipina? Ya sutralah. Kondosinya memang lebih jeblok. Namun satu yang mungkin perlu diperhatikan. Sama seperti Indonesia, Filipina sangat doyan hal-hal yang berbau "selebriti". Artis dan selebriti yang menjadi tokoh politik, sangat banyak di Filipina. SANGAT BANYAK. Jauh lebih banyak dari Indonesia.
Singapore boleh dibilang hampir tidak punya Artis/selebriti yang jadi tokoh politik. Demikian juga Malaysia dan Thailand. Ada, tapi jarang sekali. Dan kalau pun ada, biasanya Artis tersebut memang sudah direkrut lama oleh partai politik bersangkutan. Tidak dadakan.
Apakah ini tanda-tanda bahwa Indonesia bakal mengalami nasip yang sama dengan Filipina? Negara yang doyan heboh ditempat bak sinetron? Tak taulah awak nih... kata orang Malaysia.

Satu yang jelas... Siapa pun pemimpin Indonesia kedepan, jika ingin benar-benar menjadikan Indonesia maju, harus berani mengambil keputusan untuk merevolusi struktur PNS. Dibuat lebih ramping dan benar. Kemampuan kerja menentukan karir. Bukan senioritas dan politik. Harus ada peraturan kerja yang jelas, yang tak mampu harus minggir.
Teman gue punya teman anak seorang Dirjen di masa Suharto. Dia kerja di salah-satu BUMN milik negara. Tiap malam kerjaannya cuma "nginex" (Minum ekstasi). Hampir tiap malam keluyuran ke club-club malam. Di Kantor teler berat. Tapi tidak ada yang berani memecat. Hanya "digeser" ke posisi "tak perlu otak". Kerjanya dikantor cuma tidur. Gimana coba bangsa ini bisa maju?

Harus ada yang berani merobah itu. Sudah saatnya. Pekerjaan 1 orang dikasih kepada 1 orang. Yang 4 lain yang tak kerja, buang saja. Denang begitu gaji pegawai bisa lebih tinggi. Motivasi kerja bisa terbangun. Lha ini? Satu orang kerja sampe lembur, yang empat lagi ongkang-ongkang baca koran dan ngerumpi, tapi gaji tetap sama. Bagaimana bisa termotivasi?
Dengan begitu juga, orang-orang yang masih punya hati nurani yang jadi PNS, bila gajinya cukup, mudah-mudahan tidak tergiur untuk korupsi. Kalau dengan kondisi sekarang? Percaya deh, yang punya hati nurani dan kecerdasan pasti akan terbawa ethos kerja penjajah "tukang perintah" semacam itu. Menjadi malas dan senang "tilep sana tilep sini" buat nombokin gaji yang kecilnya minta ampun. Lama-lama dari "tilep sana tilep sini" menjadi kebablasan jadi ikut Gayus Tambunan.

Gue punya satu lagi cerita tentang teman SMA gue dulu. Orangnya sangat cerdas. Dan dari dulu sudah terkenal sangat "saleh". Sangat kuat ibadahnya. Kemudian setelah selesai kuliah dia bekerja di salah satu Kantor kementrian di Jakarta.
Suatu hari anaknya sakit keras, sampai perlu diopname, karena gue cukup dekat dengan dia, gue datang ke rumah sakit melawat anaknya yang benar-benar kritis. Dan begitu ketemu gue, dia menangis sesunggukan, katanya gini, "Ini mungkin peringatan Allah buat gue. Gue merasa diri gue sekarang sudah sangat jauh berubah dari gue yang lu kenal dulu. Sejak jadi PNS, gue merasa mengambil yang bukan hak gue adalah hal yang lumrah dan biasa. Tapi gimana gue bisa bertahan bro? Gimana gue bisa hidup di Jakarta? Gaji gue sebulan cuma sekian...(Dia menyebutkan satu angka yang membuat gue sangat terenyuh). Anak istri gue perlu makan dan sekolah. Perlu baju. Perlu merasakan sekali jalan-jalan ke mall. Gimana gue harus hidup bro?" Katanya sambil terisak-isak.

Gue juga pernah diskusi iseng-iseng dengan seorang pejabat di salah satu kementrian yang merupakan kenalan dekat gue, tepat sewaktu galak-galaknya berita KPK mengobok-obok DPR dulu, kita ngobrol gini:
"Coba pak H (nama gue), tebak gaji saya berapa?"
Gue tebak satu angka asal saja, dan tentu angka yang tinggi mengingat posisinya yang cuma 1 tingkat di bawah menteri.
Dia ketawa ngakak.... "Mana mungkin pak H.", katanya, "Gaji Presiden saja cuma 100 juta, mana mungkin gaji saya lebih tinggi dari gaji Presiden."
Dan tanpa malu-malu dia menyebutkan satu angka, yang membuat gue bergidik mendengarnya. "Ditambah tunjangan jabatan dan lain-lain, take home pay saya..sekian...", katanya lagi menyebutkan satu angka. Gue sungguh tidak percaya.
"Sumpah demi Allah, saya tidak bohong pak H." Katanya meyakinkan melihat ekspressi muka gue yang memang tidak percaya.
"Dan pak H tau kan berapa besar budget yang harus saya kelola?"

Gue benar-benar terdiam. Dengan tugas seberat itu, otoritas pembiayaan sebesar itu, dan dengan gaji sekecil itu, siapa yang tidak gampang tergoda jebakan korupsi??????? Apalagi dengan system pengawasan dan hukuman yang amburadul seperti di Indonesia ini???? Hanya Malaikat mungkin yang bisa bertahan.
Dan gue kenal banyak orang-orang PKS yang sekarang jadi birokrat. Yang dulu gue angkat jempol tentang karakter, visi, dan kecerdasannya. Tapi sekarang bikin gue pengen muntah. Bikin malu orang-orang PKS lain yang masih tetap coba bertahan.
Semua karena kesalahan system rekrutmen PNS warisan penjajah dan era otoriter yang masih dipertahankan hingga kini.

Tidak ada cara lain. Untuk membuat bangsa lepas dari masa stagnan seperti ini, PNS harus dirombak. Revolusi struktur PNS yang benar-benar mendasar. Memang tugas yang sangat berat. Dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapi masa depan bangsa ini kedepan memang sedang dipertaruhkan.
Tugas yang sangat berat. Tapi apa gunanya lu jadi Presiden, kalau cuma bisa ngurusin Artis berpolitik yang bikin masalah?
Tetaplah jadi Presiden bau telur busuk, agar nanti seperti kata Iklan direktorat pajak, "Apa kata dunia pak Presiden????".

No comments:

Post a Comment