whose side are you on

whose side are you on

Wednesday, December 14, 2011

Books of Harlots and Cats == Just not another Bali.....

Gue sedang bersiap-siap akan pulang ke rumah, ketika sekretaris gue masuk dan memberitahu ada telephone dari seseorang yang mengaku teman gue kuliah di Inggris (UK) dulu. Dia menyebutkan satu nama. Gue langsung keinget teman bule gue itu. Seorang wanita bule yg meskipun sudah berumur separuh baya, tapi masih tetap penuh semangat dan sangat enerjik. Dan juga sangat pintar serta lucu dan sangat ramah. Sangat pandai bikin lelucon2 pintar (smart jokes) yg bisa buat orang ketawa puooll terbahak-bahak. Langsung deeh gue minta disambungkan.

Ngobrolah kita sebentar kangen2an, karena memang sudah lama banget gak ketemu. Semenjak gue balik ke Jakarta kita praktis hampir tak pernah berhubungan. Hanya sesekali saling berkirim pesan di hari2 khusus, semacam hari ulang tahun, Hari raya keagamaan, dan tahun baru. Selebihnya, boleh dibilang hampir tak pernah berhubungan. Walaupun usia kita berbeda cukup jauh, tapi dia cukup akrab dengan seluruh teman2 sebaya gue.

Di Inggris (United Kingdom), untuk belajar di Universitas Kenamaan itu sangat mahal. Bahkan buat penduduk asli UK sendiri. Apalagi untuk post grade (pendidikan lanjutan) semacam Master, atau Doctorate. Umumnya sehabis selesai sarjana, mereka bekerja dulu untuk menabung bertahun2, baru kemudian melanjutkan kuliah ke jenjang lebih lanjut. Jadi banyak teman2 kuliah gue yang usianya jauh diatas gue. Ada juga yang berotak encer, beruntung mendapatkan sponsor, yang mau membiayai kuliahnya. Dan teman gue ini salah satu yg beruntung, yang memiliki sponsor untuk membiayai kuliahnya.
Dia seorang yang sangat akhli di bidangnya. Dia bekerja di sebuah organisasi nir laba (Non Profit Organization), yang bergerak dibidang sosial kemasyarakatan mengenai pemberdayaan wanita dan anak2. Induk organisasinya berafiliasi pada UNICEF, dan UNICEF lah yang membiayai kuliahnya.

Di telepon, dia kemudian bercerita dia akan ke Indonesia minggu depan, selama 1 bulan. Dia sedang mengerjakan desertasi Doktoralnya, untuk mendapatkan gelar Philosophy Doctorate (Ph.D). Dia sedang mengadakan penelitian mengenai pelacuran di negara berkembang Asia. Impact dan hubungannya dengan perkembangan ekonomi, sosial dan budaya, dalam masyarakat. Dia memang akhli dan mendalami masalah sosio kultural di Asia. Terutama Cina dan India.
Untuk penelitiannya kali ini, Negara Cina, India, Indonesia, Thailand, dan Vietnam adalah tempat yang akan menjadi objek desertasinya.
Di Indonesia sendiri, selama lebih 1 bulan itu, dia akan mengunjungi Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya dan Makassar untuk penelitiannya. Penelitian yang pasti sangat mahal. Dan UNICEF kembali menjadi sponsornya.

Gue tanya apa yang bisa gue bantu, dia cuma bilang pengen ketemu gue kalau di Jakarta. Seperti kebiasaan orang bule yang sangat tidak mau merepotkan orang, dia menolak ketika gue bilang gue akan suruh supir gue menjemput di bandara. Katanya sudah ada orang yang akan menjemputnya. Dia juga menolak ketika gue tawarin nginap di rumah gue selama di Jakarta. Gue tetap ngotot agar dia gue jemput di bandara. Akhirnya dia mau.
Gue tanya dia menginap dimana selama di jakarta, dia menyebutkan nama sebuah hotel yang tak terlalu terkenal, di daerah Jalan Matraman. Katanya dia direkomendasikan oleh kontaknya di Jakarta. Seorang Peneliti dari UI yang juga aktif di UNICEF. Yang akan menjadi penghubungnya selama di Indonesia.

Begitu pembicaraan kami di telepon selesai. Gue minta sekretaris gue menelpon hotel di Matraman itu, menanyakan reservasi atas nama temen gue itu, dan menyuruh sekretaris gue membatalkan reservasinya.
Meskipun temen gue ada yang mensponsori, gue tau sebagai peneliti yang dibiayai, dia pasti melakukan perjalanan dengan budget sangat ketat dan pas2an. Perjalanannya bukan perjalanan darmawisata. Menghemat beberapa ribu dollar selama di Indonesia, pasti akan sangat membantu penelitiannya. Dia sudah menjadi teman sangat baik selama ini. Apalagi selama di UK. Dengan pemikiran yang sama pula, untuk kemajuan harkat wanita dan anak2...ciyyyeeee......

Hari ketika dia datang, gue minta supir gue yang akan menjemputnya untuk langsung membawa temen gue ke kantor. Beberapa appointment gue hari itu gue undur atau batalkan, supaya bisa kangen2an dengan teman jauh ini. Begitu sampai di Kantor, seperti yang gue ingat dulu waktu masih di UK, suaranya yang ribut langsung berkicau "You just committed a crime, you just kidnapped a UNICEF ambassador" katanya bercanda. Kemudian lupa posisi dan jabatan, kita merasa kembali ke jaman dulu di UK, ketawa pecicilan seperti layaknya gadis2 rumpi. Sampai semua karyawan2 gue yang dekat2 ruangan gue terbingung2.

Dia sedikit protes ketika tau hotelnya sudah gue batalin, dan dia gue "culik" lagi buat nginap di rumah gue. Kalau ditelpon memang dia masih bisa menolak. Tapi kalau sudah ketemu begini, mana mungkin dia bisa mengelak lagi buat "disandera". Dan dia juga tidak bisa mengelak ketika gue "sedikit memaksa", agar dia juga tinggal di rumah gue di Bandung dan di Surabaya, selama dia melakukan penelitian di sana. Gue bilang rumah itu kosong, hanya ditempati pembantu, penjaga rumah dan satpam. Dan itu akan sangat menghemat budgetnya dia.
"Heyy.. don't be "jaim" oke? This is me you are talking to. So just cut all those craps" Kata gue ngotot. Dia tau arti "jaim" (Jaga Image) itu yaa....dari gue dan teman2 Indonesia gue selama bergaul di UK dulu.
Dengan tertawa lucu dia akhirnya ngomong..."yeahh, thank you so much. You know better, I'm traveling on a budget" sambil ngakak kencang....

Kemudian dari dia lah gue tau betapa buruknya keadaan wanita2 di negara2 berkembang di Asia. Ekonomi yang berkembang pesat, tidak justru membuat keadaan menjadi lebih baik. Boleh dibilang, kalau tidak sama saja, mungkin bahkan lebih buruk. Dalam setiap situasi genting, yang pertama sekali menjadi korban akan selalu anak2 dan perempuan. Itu seperti sudah menjadi hukum alam. Himpitan ekonomi menjadikan pelacuran, terselubung dan terang2an, terjadi hampir dimana2 di semua negara yang menjadi sasaran penelitiannya.

Sex dan pelacuran menjadi komoditi milyaran dollar. Wanita2 dan anak2 menjadi sapi perah yang bisa diperlakukan sesuka hati.
Di negara2 maju yang sudah sadar hukum dan melek ilmu saja, tetap masih banyak kisah2 tragis dari para penjaja sex komersial tersebut. Apalagi di negara berkembang? Yang hukumnya masih morat-marit dan tingkat pendidikannya masih sangat minim. Kaum marginal seperti itu seakan tak punya tempat dan hak untuk bersuara. Hanya menjadi objek seumur hidup. Sangat memilukan.

Apalagi di era digitalisasi dan internet sekarang ini. Semakin mudah untuk memperdagangkan "komoditi tak berbentuk" semacam pelacuran itu.
Di semua negara yang menjadi sasaran penelitiannya itu, pelacuran adalah perbuatan melanggar hukum, dan dapat dipidanakan. Namun justru pelacuran terjadi dimana-mana. Dan Cina dan India dua negara berkembang yang sedang menuju menjadi negara Adi Daya itu, justru merupakan dua negara yang paling besar industri esek-eseknya. Terbuka dan terselubung.

Dia menunjukkan makalah hasil penelitiannya di dua negara itu. Dan tidak mengejutkan, internet menjadi salah satu senjata untuk "memperdagangkan komoditi" semacam itu.
Di India ada banyak sekali hostel-hostel (hotel kelas gurem) yang menjadi pusat prostitusi terselubung. Umumnya hotel2 semacam ini menjadi tempat persinggahan para "backpackers" (turis kelas gurem). Hotel-hotel itu ada yang terang2an menjajakan service semacam itu, dan ada yang "malu2" dengan bahasa sandi.
Teman gue ini menjadi sangat akhli untuk tau mana hostel "bener" mana yang "agak-agak". Hanya dengan melihat tampilan iklannya dan tamu yang datang.

Dia juga menemukan gejala yang sama, hampir di semua negara Asia berkembang. Namun India menduduki peringkat pertama dalam urutannya. JUTAAN hotel semacam itu, tersebar diseluruh India. Dan yang lebih memilukan, kebanyakan para pekerja sex komersial tersebut adalah remaja high school atau mahasiswa. Perempuan dan laki2.
Bahkan ada satu asrama mahasiswa, yang boleh dibilang, isinya semua adalah PSK.
Dan di hotel2 kumuh semacam itu, segala cerita memilukan bisa terjadi.
Himpitan ekonomi tetap membawa cerita yang menguras airmata. Bagi kaum yang terpinggirkan.

Perkembangan teknologi internet juga turut sangat berperan menyuburkan hal semacam itu. Negara2 Asia yang menabukan prostitusi, seperti India, Cina, dan Indonesia, menjadi ladang subur bagi "Prostitusi terselubung" dalam internet.
Teman gue menunjukkan berbagai website dan chating room, yang melakukan prostitusi terselubung semacam itu, hampir di seluruh negara Asia.
Ada satu website, yang terang2an menawarkan kegadisan wanita dan pria umur 13 tahun, dengan imbalan sekian ratus dollar. Gue merinding membacanya. Membayangkan ponakan gue yang juga masih gadis bau kencur seperti itu.
Dan yang pasti perdagangan manusia (human traficking) menjadi sangat dimudahkan dengan adanya internet.

Dia bercerita, negara2 Arab yang sangat keras hukumnya mengenai pelacuran, para "pedagang manusia" itu justru tak kehilangan akal. Karena pengiriman PSK wanita akan menjadi sangat mencolok, maka banyak pemuda2 belasan tahun yang dikirim ke sana, dijadikan PSK, dengan diiming2i kerja buruh. Dan kebanyakan para pemuda itu didatangkan dari negara2 semacam Pakistan, India, Indonesia dan Filipina.
Dan bila penelitiannya itu benar (dan gue yakin benar), jelas itu satu tamparan buat negara-negara Arab. Dan hal itu, menurutnya akan sangat sulit dibuktikan, karena tidak seperti pelacur wanita, umumnya pelacur laki-laki, malu tampil untuk mengakui keadaan itu terang2an. Dan keadaan itu semakin menambah buram lingkaran setan perdagangan manusia yang tidak akan pernah membawa kebaikan apapun, kecuali sedikit keuntungan bagi manusia2 kemaruk harta yang menurut gue sama sekali tak punya hati nurani.

Dia bercerita, beberapa waktu dulu, di Amerika, FBI pernah mengobok-obok Yahoo dengan messengernya. Karena ditemukan bukti-bukti adanya perdagangan anak kecil dan perdagangan narkoba, dilakukan melalui YM (Yahoo Messenger). Amerika memang sangat dibuat bingung oleh perdagangan manusia dan drugs melalui internet semacam itu. Di Amerika pelacuran pun sebenarnya melanggar UU, namun pemerintahnya lebih mementingkan perdagangan anak, narkoba dan terorist. Jadi artinya perdagangan wanita bukan prioritas.

Dan kembali menurut teman gue ini, perdagangan manusia seperti itu terjadi hampir di semua chat room berbasis internet semacam Yahoo Messenger, seperti ICQ atau Camfrog. Akhir-akhir ini sudah semakin banyak orang yang mengeluhkan hal itu, dan menginginkan Pemerintah USA mengambil tindakan lebih tegas kepada semua chat room yang melakukan pelanggaran seperti phedophilia dan prostitusi terselubung.
Tapi sepertinya FBI belum akan melakukan tindakan yang sama seperti yang pernah dilakukan dengan YM. Mungkin karena ICQ atau Camfrog tidak sepopuler Yahoo, di Amerika, kata teman gue memberikan alasan. Dan memang pengguna chat room semacam itu, umumnya adalah negara2 Asia. Dimana prostitusi dilarang dilakukan secara terbuka. Jadi media semacam chat room atau forum internet akan sangat membantu. Asia memang menjadi "sampah" segala yang tidak menguntungkan.

Ekses yang dibawa teknologi internet memang benar membawa dua sisi. Sisi sangat baik dan sisi sangat kelam. Dan itu tergantung judgement (penilaian) kamu untuk memilih. Apakah kamu bisa memanfaatkannya dengan baik, atau justru menjadikannya bertambah buruk.

Kamu pernah masuk Camfrog? Coba lihat berapa banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang log in ke chat room itu. Berapa banyak polisi, tentara, dan aparat keamanan yang log in ke situ. Pada jam kerja. Masih berbaju seragam. Coba bayangkan berapa banyak pemborosan yang ditimbulkan. Bandwidth internet yg mereka pakai itu dibayar oleh uang negara. Fasilitas kantor yg seharusnya digunakan para aparat itu untuk mengejar "para pedagang manusia" itu, justru dipakai buat "bersenang2". Apa saja kerja para PNS dan pamong praja itu, sampai sempat2nya berjam-jam nongkrong di chat room melakukan hal2 yang mungkin tak pantas untuk diceritakan.

Di perusahaan gue, akses ke chat room seperti itu sangat restricted. Sangat dibatasi. Tdk ada yg boleh melakukannya pada saat jam kerja. Sebaiknya seluruh aparat pemerintah dan pamong praja, juga melakukan hal yang sama. Biaya yg mereka pakai untuk melakukan aktifitas tak mutu semacam itu dibayar pakai duit rakyat. Gaji mereka juga dibayar pakai duit rakyat. Jadi cobalah para bapak2 pemimpin itu memperhatikan. Image yg diberikan juga sangat tidak baik. Apalagi semua orang bisa melihat dari kesatuan atau jajaran PNS mana si oknum itu.
Kalau mereka melakukannya diluar jam kerja, tanpa baju seragam, dengan fasilitas pribadi, bukan fasilitas kantor/negara.... monggo silahkan..... Tapi ini? Sudah menggunakan duit rakyat, pamer2 baju dinas dan kesatuan pula. Plis deehh......

Sekarang gimana caranya agar ekses tak baik dari internet itu bisa dikurangi? Amerika saja yg sudah sedemikian canggih teknologinya, masih dipusingkan oleh "pedophilia dan human trafficking" melalui internet. Apalagi Indonesia kan? Depkominfo yang mengurusi masalah komunikasi internet ini saja, masih bingung menggunakan pendekatan seperti apa. Niatnya yang mau menutup semua situs esek-esek, malah ditetawakan, dan justru memberikan image jelek bagi pemerintah.
Mungkin bermaksud mengikuti langkah pemerintah Cina.

Menutup akses ke semua situs-situs esek-esek semacam itu di internet, memang hampir tidak mungkin dapat dilakukan. Kecuali dengan cara menutup sama sekali jalur akses internetnya. Yang artinya juga akan menutup email, messenger, dan kesempatan untuk mengakses situs2 yang sangat berguna.

Pemerintah di cina melakukan pendekatan represif seperti itu, menutup akses keberbagai situs yang dianggap "bertentangan dengan kebudayaan sosialis Mao", termasuk situs2 esek-esek begituan. Namun tetap saja pelacuran dan perdagangan anak dan perempuan, merebak kemana-mana. Dan di Asia, Cina menduduki peringkat pertama sebagai "pengekspor" PSK. PSK dari Cina, pria dan wanita, "melanglang buana" ke manca negara. Tujuannya tidak hanya negara2 makmur seperti Jepang, Korea, dan Singapore, tapi Juga negara2 berkembang seperti Indonesia dan Thailand.
Cina memang sudah kebanyakan orang. jadi harga segelintir wanita dan anak2 tak berdaya itu mungkin memang tidak ada artinya.

Dari teman gue ini jugalah gue tau betapa mudahnya melakukan transaksi seks di internet. Apalagi bagi orang bule. Yang di Asia dianggap "berduit".
Dia membuktikan dengan masuk ke salah satu chat room. Dengan hanya modal cam dan wajah bulenya, dia nongol ke satu room, hanya dalam hitungan menit, langsung puluhan pemuda menyerbu "menawarkan" diri.
Ada yang terang2an berkata butuh kerja, tapi tidak bisa-bisa, dia mau dijadikan apa saja, ingin dibawa ke Inggris, kerja apa saja, di Indonesia susah dapat kerja, jadi budak seks (ma'af) pun mau, asal bisa bekerja. Sangat memilukan. Dan hal itu juga yang menjadikan para Phedopilia negara2 eropa/amerika, dapat dengan mudah menjadikan negara2 Asia sebagai surga bagi mereka.

Cobalah kamu-kamu yang diberi keberuntungan hidup, dengan segala kesuksesan kamu, sesekali masuk ke sana. Untuk dapat bercermin pada hidup.
Kecuali otak kamu memang mesum, bagi gue yang ada cuma rasa kasihan.
Gue benar2 bingung apa yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi hal itu. Sulitnya lapangan pekerjaan menyebabkan hal-hal yang sangat memilukan seperti itu dapat terjadi.
Menganggur dan butuh biaya untuk hidup, jalan paling gampang adalah melacurkan diri. Pemerintah harus melakukan lebih banyak. Tidak cukup hanya retorika.

Memang ada banyak orang yang iseng. Yang memang cuma mencari kesenangan seks. Namun tak urung banyak sekali yang melakukannya untuk kebutuhan hidup.
Ada juga yang memang karena malas bekerja. Malas berusaha, kepingin mudah dan cepat kaya, melakukan pelacuran, tapi itu tidak berarti Pemerintah harus menjadikannya alasan untuk mengurangi pengangguran.

Gue masih percaya suara hati manusia masih akan membisikkan kebaikan. Kecuali benar2 sudah menjadi setan, tidak akan ada orang yang mau melacurkan diri dengan suka rela. Jika punya pilihan yang lebih baik, pasti tak kan ada yg mau melacurkan diri.

Gue tidak ingin menghakimi. Karena gue sendiri sadar, gue belum dapat melakukan apa2. Gue hanya bisa merasa kasihan. Gue belum bisa seperti teman gue ini yang melakukan penelitian, untuk dapat mencarikan jalan keluar bagi situasi yang sangat sulit seperti itu. Atau seperti mbak Baby Jim Aditya yang langsung terjun membantu para PSK memberikan penerangan tentang bahaya AIDS. Atau seperti Tante Ratna Sarumpaet yang bikin film tentang Human Traficking. Atau seperti almarhum Elizabeth Taylor yang menjadi Duta PBB bagi perlawanan terhadap AIDS. Atau seperti banyak aktifis2 kemanusiaan lainnya yang langsung memberikan pembinaan kepada PSK-PSK yg hidupnya kurang beruntung itu. Paling banter gue cuma bisa nyumbang bila ada acara2 amal bagi keperdulian terhadap perdagangan wanita dan anak2.
Dan paling gue cuma bisa nulis blog menyuarakan kata hati gue. Gue tidak ingin menghakimi. Tapi gue juga tidak ingin menjadikan pelacuran sebagai pembenaran terhadap nilai hidup dan kemanusiaan. Sepatutnya, siapa pun dia, perempuan atau laki-laki, layak mendapatkan penghidupan yang lebih baik tanpa harus melacurkan diri.

Ekses dari globalisasi dan percepatan teknologi, turut andil juga mendorong pelacuran, phedopilia, dan human traficking menjadi tumbuh subur, terutama bagi negara2 berkembang tadi. Perjalanan manusia yang sekarang semakin aman dan dimudahkan, memang di satu sisi memjadikan bisnis parawisata berkembang cepat menjadi satu bisnis yang dapat diandalkan sebagai penghasil devisa utama bagi negara2 berkembang.
Ambil contohnya, Thailand, Fiji, Jamaica, Cina, India, atau juga Indonesia. Bagi negara2 ini devisa dari parawisata sudah menjadi target pendapatan setiap tahun. Tapi seperti kata orang2 bijak: "Nothing is such a free lunch". Tidak ada yang didapat dengan gratis. Devisa parawisata itu pun membawa dampak bagi budaya setempat.
Contoh yang paling niscaya adalah Thailand. Negara tetangga kita itu.
Ini satu test buat kamu yang sering traveling, gue sebutkan beberapa negara tujuan pariwisata seperti ini, Mesir, Turkey, India, Cina, Brazil, USA, Thailand, Australia, New Zealand, Switzerland, Monaco, Fiji.... Coba apa yang ada di benak kamu kalau mendengar nama negara tersebut diucapkan sebagai daerah wisata.
Gue sebut Cairo atau Istanbul, apa yang ada di benak kamu?
Gue sebut Rio de Jainero dan Singapore, apa yang ada di benak kamu?
Gue sebut Bangkok atau Geneve atau Paris, apa yang ada di benak kamu?

Kenapa kalau teman gue bilang mau ke Singapore atau Geneve, tidak ada yang komentar aneh2?
Kenapa kalau teman gue bilang mau ke Istanbul atau Cairo, tidak ada komentar yang aneh2?
Tapi coba ada yg bilang mau ke Rio atau Bangkok, mulai deh komentar2 aneh bermunculan......
Mungkin itu memang masalah image dan pencitraan....
Tapi kenapa yang menjadi sasaran komentar2 aneh itu selalu berada di negara berkembang?

Sulitnya, citra itu sudah terbangun dan terbentuk semenjak awal daerah atau kota itu dipromosikan sebagai tujuan wisata.Sehingga akan sulit sekali untuk membalikkannya. Citra sebagai pusat "Sex Tourist". Terus terang pemerintah sebagai pengambil keputusan sangat berperan sebagai pembentuk citra tersebut. Dan pola hidup keseharian, serta budaya masyarakat setempat, juga turut andil membangun citra daerah tersebut.
Kalau masyarakatnya memang bertabiat kasar, bertemperamen garong, senang berkelahi, sebaik apapun program yang dimiliki pemerintah, tidak akan sanggup memajukan pariwisata daerah bersangkutan. Begitu juga sebaliknya, sebaik dan seramah apapun tabiat masyarakatnya, kalau pemerintahnya tak becus menjaga keamanan, tak becus mengembangkan program terobosan2 baru untuk menarik minat pengunjung, tetap aja daerah yang memiliki potensi pariwisata unggulan, tak akan mampu berkembang.
Sebab terus terang, semua daerah tujuan pariwisata itu, "hampir mirip-mirip" saja sebenarnya situasinya. Bangkok, Pattaya, dan Bali itu, hampir mirip2 keadaannya.
Tokyo, Sapporo, Seoul dan gwangju, juga hampir mirip2 keadaannya. Jadi bagi negara sedang berkembang, yang masih sangat mengandalkan devisa dari pariwisata, persaingan memang menjadi sangat ketat. Beda dengan negara maju, yg sdh tidak tergantung dari devisa tourism ini.

Jadi ekses dari pergesekan budaya yg disebabkan pengembangan pariwisata ini, memang lebih terasa bagi negara2 berkembang yang membutuhkan devisa. Sementara bagi wisatawan dari negara2 maju, mereka bagaikan menemukan "surga". Dengan harga "murah-meriah" jika dibandingkan dgn negara asal mereka, mereka sudah mendapatkan "segala service" yang dibutuhkan. Hukum ekonomi supply and demand pun berlaku. Ada kebutuhan, ya pasti kemudian ada "barang dan jasa". Termasuk dalam urusan esek-esek tadi. Hukum supply dan demand dalam urusan birahi itu jugalah yang menimbulkan sangat banyak korban, dan umumnya perempuan dan anak2.

Dan seperti Bangkok, cap sebagai surga bagi "Thai Girl Show" (dipelesetkan menjadi "Tiger Show"), Gay, dan Ladyboy (banci/drag queen), sudah tak bisa dipungkiri. Keadaan itu juga lebih diperparah dengan promosi dunia media digital, video2 dan majalah2 porno, yang menggambarkan Thailand itu sebagai surga bagi segala birahi.

Di negara Asia Tenggara, Thailand menduduki peringkat pertama sebagai produsen video/majalah esek-esek begituan. Disusul kemudian oleh Filipina. Meski banyak video2/majalah tersebut diproduksi oleh production house di luar Thailand atau Filipina, tapi sikap masyarakat yang sepertinya dapat menerima keadaan itu, turut mendorong semakin gencarnya produksi2 film/majalah semacam itu.
Berbeda contohnya dengan di Indonesia atau Malaysia. Umumnya masyarakat masih belum dapat menerima keadaan begitu. Ingat kasus majalah Playboy Indonesia dan Jade Marcella?
Dan terus terang gue sendiri masih merasa beruntung bahwa Indonesia masih menabukan hal-hal seperti itu. Karena terus terang, begitu hal itu dapat diterima, seperti di Thailand dan filipina, percayalah, korban pertamanya adalah kaum wanita, yang akan dengan cepat menjadi objek birahi.

Di Asia, dalam urusan digital esek2 itu, Thailand hanya dapat dikalahkan oleh Jepang. Bollywood dan Hongkong yang bisa menyaingi Hollywood dalam urusan produksi film "normal", bahkan tidak mampu bersaing dengan Thailand dalam urusan media esek-esek begitu. Gue tidak tau apakah itu suatu prestasi yang dapat dibanggakan atau tidak. Bingung bwok.....

Jadilah image sebagai pusat sex tourist itu semakin terbentuk. Hal yang sama juga terjadi dengan Rio de Jainero. Di satu sisi ada keuntungan devisa yang mengalir deras, disisi lain, ada harga yang harus dibayar. Nothing such a free lunch. Dan tetap, sekali lagi korban utamanya adalah anak2 dan perempuan.

Kita memang boleh mengandalkan pariwisata untuk menghasilkan devisa. Boleh mengembangkan pariwisata menjadi tumpuan ekonomi. Tapi janganlah hal itu menyebabkan citra negara menjadi rusak sebagai tujuan wisata esek-esek. Jika Singapore dan Malaysia mampu membangun citra sebagai tujuan wisata yang repectable, bukan esek-esek, kenapa Indonesia tidak? Padahal apa sih yang dimiliki Singapore untuk dapat dijual? Coba bandingkan dengan apa yang Indonesia miliki.

Jika tidak berhati-hati, Indonesia dapat mengulangi kesalahan yang sama, menjadi pusat wisata sex Asia Tenggara. Hal itu sekarang sedang dialami oleh Manila, Filipina dan Mumbay India. Jika tidak berhati2. Tidak melakukan terobosan rencana yang comprehensive, percayalah Manila dan Mumbay akan juga berkembang dan mendapat citra sebagai pusat tujuan wisata esek-esek.

Gue teringat kejadian yang dialami kakak gue. Suatu kali kita menghadiri pernikahan anak seorang petinggi salah satu partai politik Indonesia. Disitu kita ketemu dengan mantan Gubernur salah satu propinsi di Indonesia (Sebutlah namanya Om A). Keluarga gue memang sudah lama kenal keluarga Om A ini, bahkan sebelum dia jadi gubernur.

Beberapa tahun sebelumnya, sewaktu dia masih menjabat jadi GUbernur, kakak gue pernah dimintai tolong oleh salah satu teman pengusahanya untuk dikenalkan dengan Om A. Karena temannya itu tau, keluarga gue dekat dengan tokoh penting ini. Teman kakak gue itu berniat membangun hotel di propinsi tersebut. Propinsi yg dibawahi Om A ini memang terkenal banyak memiliki potensi pariwisata yang sangat bagus. Sangat Indah. Tapi tidak begitu dikenal diluar Indonesia, Jangankan luar negeri di dalam Indonesia sendiri pun orang kurang begitu mengenal daerah2 wisata unggulan provinsi ini. Padahal terus terang banyak daerah2 yang sangat bagus.

Pengusaha ini sudah sekian lama mengurus ijinnya, namun sepertinya dia mengalami kesulitan. Dia merasa "dipersulit", katanya. Jadi dia minta tolong kakak gue, untuk sowan bareng ketemu Om A. Karena dia sudah berusaha berkali2 ingin ketemu tetapi selalu ditolak. Siapa tau setelah ketemu orang nomer 1 propinsi itu, urusan bisa jadi lebih lancar.

Singkat cerita, pertemuan itu terjadi. Di kantor gubernuran. Om A, bilang silahkan saja mengembangkan potensi pariwisata disitu. Dia akan sangat mendukung. Apa pun UU yang dibutuhkan untuk mengembangkan wisata disitu dia akan buat. Silahkan mengembangkan sebaik2nya, katanya...ASAL (pake sarat bwok) jangan menjadi seperti Bali. Kalau gara2 mengembangkan pariwisata disini, kemudian daerah ini harus berubah menjadi seperti Bali, lebih baik tidak. Katanya. Teges banget ya bwok.....
Menurut gue itu adalah satu prinsip manusia. Orang bebas punya prinsip kan? Bukan berarti gue juga setuju dengan prinsipnya itu. Jadi perkataan Om A itu jangan ditanggapi aneh-aneh. Masalah kamu setuju atau tidak dengan prinsipnya itu, itu kembali menjadi urusan masing2. Gue hanya menyampaikan dan tidak bermaksud memancing keributan. Jadi buat orang Bali yang membaca tulisan ini, dan tidak setuju dengan prinsip dan perkataan Om A ini, jangan jadi sewot dan darah tinggi. Orang bebas punya prinsip tah? Kwekwkekwke...

Rupanya para petinggi di provinsi tersebut, sudah mendengar reputasi pengusaha tersebut, yang memang terkenal sebagai dedengkot hiburan malam dan esek-esek. Eh lu yang sedang baca, munyuk loe kalo berpikir kakak gue punya saham diperusahaan itu. Kita cuma berteman, gue juga kenal pengusaha itu. Gak ada urusan punya saham, cuma sekedar membantu teman. Sialan, ntar dikira keluarga gue punya saham lagi disitu....

Nah pas ketemu dipesta kawin itu, baru cerita berlanjut. Kakak gue sendiri sudah tidak tau kelanjutan niat temannya untuk membangun hotel. Om A bilang hotel itu tidak jadi dibangun. Dan kakak gue pun dinasehatilah panjang lebar oleh Om A. Dia juga berpikir kakak gue ada andil dalam usaha itu. Sukurriiinnn.... Kwekwekwekwekkk... Sapa suru mau....
Kakak gue sampe hampir kesal membela diri menjelaskan kalo dia hanya membantu teman. Tidak ada pretensi apa2. Tapi teteeuuppp...Masih juga dinasehati, kalau berteman harus pilih2 temannya. Pilih pengusaha yang punya kredibilitas dan reputasi baik. Gue sampe sakit perut nahan ketawa, ngeliat wajah kakak gue merah biru salah tingkah....

Kita memang perlu berusaha. Menjadi Kaya itu bukan dosa. Tapi harus di jalan yang diridhai Allah. jangan menjadi pengusaha kemaruk untung yang menghalalkan segala cara. Katanya menasehati. Sebagai pengusaha, harus turut mempertahankan budaya bangsa, jangan justru merusak moral sekeliling. Dia kemudian mengutip pepatah propinsi bersangkutan, selalu ingat budaya kita... "Adaik basandi sarak, sarak basandi Kitabullah" (Adat bersendikan Syari'ah, Syari'ah bersendikan Kitabullah).

Wedeeww... kalau sudah begitu, tutup buku dah urusan. Selesai pembicaraan. Repot urusannya kalo sudah membawa agama kan? Salut juga gue sama orang seperti Om A itu. Ternyata masih ada juga pejabat pemerintah yang punya prinsip baik seperti itu.... kwkekwkekwkekwkwke......

Cuma gue juga jadi bingung.... Denger2 ternyata banyak pejabat dan politikus kita yang katanya fasih berbicara agama. Nazaruddin itu katanya tdk pernah tinggal shalatnya. Tante Nunun Nurbaeti yg kesandung kasus Traveler Ceque dari Tante Miranda Gultom itu pergi kemana2 selalu pake kerudung. Shalat juga tak pernah tinggal. Suaminya pun anggota PKS, partai yg kental keislamannya...... Tapi kok Indonesia teetteeuupp aja masih masuk negara terkorup di dunia ya bwookk...????? Kenapa sih bwok??
Mungkin karena agama cuma dijadiin kedok ya bwok, untuk menarik simpati rakyat, padahal...wuuyy...

Kalo gue masuk camfrog, gue sangat kesal dan jijik melihat para PNS dan aparat keamanan yang masih jam kerja, masih berbaju dinas, nongkrong di Camfrog berjam-jam menonton nenen bertebaran. Menghamburkan duit rakyat. Tapi kalo mikirin para petinggi abdi negara, para anggota dewan yang terhormat sowan ke Bangkok, sowan ke Sydney, yang juga menghamburkan duit rakyat, yaaahhh sutraaa laaaa...... ternyata sama saja ya bwok, setali tiga uang.
Jadi kalo para cecoronya cukup melototin nenen di camfrog, liat strip tease di dunia maya, maka para petingginya boleh langsung liat nenen sebenarnya di Pat-Pong ya bwok. Liat strip tease beneran di King's Cross ya bwok..... jadi sama aja......
Makanya, para petinggi PNS dan dewan yang terhormat itu membiarkan saja anak buahnya menghambur2kan waktu dan duit rakyat dengan chating di Camfrog. Soalnya para petingginya juga sama aja bwok.....

Tauk ahhh gellaaabb......

No comments:

Post a Comment